[caption caption="Manusia dalam plastik' di dekat pintu wisata Istana Bogor (dok. pribadi 20/4/2016)"][/caption]Pukul 2.30 (20/4/2016) di Kota Bogor. Dingin begitu terasa meskipun beberapa hari ini, siang hari terik matahari begitu menyengat di Kota Bogor. Saya dan Dedi mampir sebentar di Warung Bansus (Bandrek Susu) kawasan Air Mancur Jalan Sudirman Kota Bogor. Dedi adalah salah seorang relawan muda dari Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan (Relindo) Kota Bogor yang sangat antusias ketika saya ajak melihat kehidupan menjelang subuh di Kota Hujan ini.
Saya memesan dua gelas Bansus untuk kami minum. Saya juga memesan Bansus sepuluh porsi yang dibungkus plastik untuk kami bagikan ke orang-orang yang bekerja atau tidur di jalanan.
“Saya kasih bonus Pak, satu bungkus, jadi 11 bungkus,” kata penjual Bansus yang saya lupa menanyakan namanya.
“Alhamdulillah,” jawab saya.
Kami bergerak melintasi Jalan Sudirman, jalan terlebar di Kota Bogor yang arahnya tepat berujung di gerbang utama Istana Bogor. Baru sampai 500 m kami terhenti di sebuah halte dekat jembatan Jalan Sudirman. Seorang lelaki tua dengan karung besar di sampingnya sedang duduk tenang. Saya dan Dedi turun dari kendaraan dan menghampirinya sambil membawa sebungkus bansus hangat.
“Bapak, ini ada minuman hangat buat Bapak.”
“Terima kasih, Dik.”
“Bapak tinggal di mana?”
“Di sana.” Pak Suhardiman begitu nama lelaki pembawa karung yang sedang duduk di halte menunjuk sebuah bangunan di kompek Ruko di Jalan Sudirman.
“Di belakang situ ada kampung, Pak? tanya saya penasaran.
“Bukan, di emperan Warung Nasi Pecel Madiun itu.”
“Maksudnya, rumah Bapak di sana?” saya penasaran.
“Iya, kalau malam saya tidur di sana (di emperan toko/warung makan dengan tidur beralaskan kardus).”
“Kalau warungnya buka, Bapak gimana?”
“Saya jalan, Dik.”
[caption caption="Pak Suhardiman, dengan karungnya di Jalan Sudirman Kota Bogor (dok. pribadi 20/4/2016)"]
“Saya sudah tidak punya keluarga. Pernah menikah 3 kali tapi gagal. Sudah 20 tahun saya di jalanan. Alhamdulillah aman gak ada apa-apa. Yang saya takutkan adalah diganggu orang saat tidur atau jalan di malam begini, Dik.”
Duh, saya begitu prihatin dengan kehidupan Pak Suhardiman. Saya pun pamit untuk melanjutkan perjalanan ke tempat lain.
Kami memutari daerah Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor melihat-lihat aktivitas warga Kota Bogor. Jalanan begitu lancar, apalagi jalur Sempur, Pajajaran, Otista, dan Juanda kini diberlakukan SSA (Sistem Satu Arah). Dalam waktu kurang dari 10 menit, dari Jalan Sudirman kemudian memutari kebun raya searah jarum jam, kami sudah sampai di Jalan Juanda.
“Ded, berhenti. Lihat ada orang tidur di trotorar.”
Kami behenti di depan Kantor LIPI (Herbarium Bogoriense) dekat pintu wisatawan masuk ke Istana Bogor. Ya Allah, kami menemukan dua orang berbungkus plastik sedang tergeletak di trotorar Jalan Juanda. Jalan Juanda terkenal sebagai kawasan Istana, yaitu Istana Presiden dan “Istana” Walikota (Balai Kota Bogor). Dedi lalu meletakkan dua bungkus bansus di sisi dua orang yang tertidur “berselimut plastik”. Dedi tidak membangunkan mereka agar tidak terganggu tidurnya.
Kami pun menjumpai seseorang yang tidur di trotoar Istana Bogor tepat di depan Balai Kota Bogor. Saat Dedi memberikan sebungkus Bansus, lekaki tua yang sedang berkemul sarung yang baru bangun dari tidurnya di depan Istana, sedikit ketakutan. Mungkin dikira kami adalah petugas keamanan yang akan mengusirnya. Dedi meyakinkan kepada lelaki itu bahwa kami adalah relawan yang sedang berbagi minuman hangat. Lelaki yang baru bangun dari tidur di “emperan” Istana itu akhirnya mau menerima bingkisan hangat kami.
[caption caption="Warga tunawisma yang tidur di trotoar jalan Juanda Kota Bogor (dok. pribadi 20/4/2016)"]
Usai menyusuri jalur SSA, kami melanjutkan perjalanan ke arah Warung Jambu. Dengan mudah kami melihat warga tunawisma menempati "kavling tempat tinggal" di emperan ruko-ruko yang ada di Jalan Pajajaran. Dan kami pun menghentikan laju kendaraan kami di sebuah ruko tak jauh dari perempatan lampu merah Warung Jambu. Saya melihat ada orang tertidur di emperan toko yang di dekatnya ada gerobak. Mungkin gerobak itu milik orang yang tidur berselimut kabut Kota Bogor. Gerobak itu berisi bermacam barang yang sebagian besar adalah barang bekas. Mungkin mereka adalah tunawisma yang hidup bersama gerobaknya.
[caption caption="Seorang lelaki dan balita tidur di emperan toko daerah Warung Jambu Kota Bogor (dok. Dedi-Relindo Kota Bogor 20/4/2016)"]
Dua jam perjalanan dini hari ini membuka mata saya akan fakta ketimpangan sosial warga Kota Bogor. Banyak masyarakat tak memiliki rumah (tunawisma) yang harus berjuang melawan cuaca dan rasa takut untuk sekedar bisa melepas lelah di ruang terbuka. Mereka hidup di ruang-ruang yang sangat rentan dengan gangguan kesehatan dan keamanan. Sementara banyak hotel, apartemen, dan komplek pemukiman mewah dibangun hanya untuk ditempati sesaat atau hanya untuk investasi bagi warga berkelebihan.
Tak adakah sedikit ruang yang lebih teduh, hangat, aman, dan nyaman untuk bisa pula dinikmati saudara kita para "manusia karung", “manusia gerobak", dan "manusia dalam plastik" yang jumlahnya tak sedikit di Kota Bogor? Mari kita pikirkan bersama, khususnya bagi warga Kota Bogor.
Saya begitu bersyukur, dikaruniai Allah, istri dan anak-anak yang hidup di rumah yang relatif lebih nyaman dan aman daripada saudara-saudara kita di jalanan tadi. Lalu nikmat mana lagi yang akan kita dustakan?
Salam kemanusiaan!
Achmad Siddik Thoha
Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan Kota Bogor
0812-8530-7940
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI