Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

"Lama-lama Kami Makan Karet Nih, Pak."

1 April 2016   13:01 Diperbarui: 1 April 2016   14:25 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Lahan padi di Kapuas Kalteng (dok. pribadi 1/4/2016)"][/caption]“Lama-lama kami makan karet, nih Pak.”

Sebuah ungkapan yang kesannya sebagai guyonan dari seorang petani di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah (Kalteng). Namun, ungkapan guyonan tersebut menyadarkan saya akan sebuah fenomena memprihatinkan dunia pertanian di negeri kita. Ungkapan itu berasal dari Pak Jito, seorang petani padi lahan kering (padi gunung) yang khawatir lahan-lahan untuk menanam padi pada suatu saat nanti semuanya berubah menjadi kebun karet. Pernyataan Pak Jito juga dibenarkan oleh Pak Sani yang khawatir lahan untuk menanam padi akan berubah jadi kebun, baik itu kebun karet, kebun jeruk, maupun kebun sawit.

Mengapa sampai Pak Jito dan Pak Sani sampai mengkhawatirkan fenomena, makan karet itu?

“Kalau dihitung-hitung Pak, hasil dari menanam padi tak sesuai dengan usaha keras yang kami keluarkan. Kalau pada kondisi panen bagus saja, hasil kami jauh di bawah gaji buruh tani. Di sini buruh diberi upah antara 60-100 ribu per hari apalagi lahannya gambut. Hasil panen padi paling banter, maksimal 50 ribu/hari. Malah seringnya kami impas. Jadi tenaga kami bisa dibilang gratis.” Pak Jito menjelaskan fenomena mengapa petani berkurang minatnya menanam padi.

[caption caption="Lahan padi di Kapuas Kalteng (dok. pribadi 1/4/2016)"]

[/caption]“Lalu kenapa masih saja mau nanam, padi, Pak?” tanya saya.

“Pertama, lahan sudah terlanjur terbuka, Pak. Hampir tiap tahun lahan-lahan khususnya di Basarang ini banyak yang terbakar, termasuk lahan saya. Kalau kami tinggalkan lagi lahan itu, maka kembali menjadi semak belukar dan biaya membuka kembali jadi mahal. Jadi sekalian merawat lahan agar bersih dan mudah ditanami apa saja. Tapi kalau hasilnya gak ketutup Pak. Paling-paling, kami ndak beli beras dari pasar, cukup dari hasil panen. Memang masih jauh dari hasil nanam nanas atau karet.”

“Tapi tetap nanam padi kenapa, Pak?" tanya saya ke Pak Sani penuh penasaran.

“Supaya tetap bekerja Pak, meski hasil gak nutup. Kalau kami gak nanam padi, kita jadi gak bekerja. Setelah lahan dibuka untuk padi, sebagian lahan lain bisa kami tanami yang lain seperti nanas dan setelahnya bisa jadi kebun karet.”

“Karet lagi, karet lagi,” gumam saya. Lama-lama bisa bener juga lama-lama petani-petani di Kapuas ini gak punya lagi lahan padi, karena berubah jadi kebun karet. “Lama-lama kami makan karet,” bisa bermakna lama-lama lahan padi semua jadi kebun karet dan mereka gak bisa makan nasi yang biasanya berasal dari padi hasil panen dari lahannya sendiri.

Itulah percakapan singkat yang saya rekam dengan dua orang petani di Kapuas Kalteng tentang kondisi pertanian. Petani kita, para pejuang ketahanan pangan, memang nasibnya tidak sebagus profesi lain yang seringkali menuntut kenaikan gaji dan tunjangan. Mereka, penjaga pangan bangsa ini, bertahan hidup dengan harga panen yang tidak menjanjikan dan tekanan komoditas lain yang bisa mengubah budaya turun-menurun mereka, yaitu menanam padi.

 [caption caption="Buah nanas yang tumbuh subur di lahan yang juga ditanami padi di Kapuas (dok. pribadi 31/3/2016)"]

[/caption]Menanam padi bagaimanapun bukan sekedar pekerjaan untuk mengisi perut, tapi sebuah aktivitas penuh makna bagi petani. Menanam padi adalah melestarikan alam agar masih sesuai dengan karakteristiknya. Menanam padi adalah upaya melestarikan budaya guyub dan gotong-rotong karena dari semua proses budi daya padi di pedesaan, dua budaya tersebut melekat dalam menanam padi. 

Menanam padi juga membuat lahan-lahan terawat sehingga mengurangi lahan-lahan yang rawan terbakar, karena sumber kebakaran lahan di Kalimantan umumnya berasal dari lahan-lahan tidak terawat. Dan menanam padi adalah bekerja. Petani dianggap bekerja bila menanam padi, sedangkan menanam yang lain adalah sampingan. Bila sudah tidak menanam padi mereka merasa tercabut statusnya sebagai petani.

Semoga petani padi di Kapuas bisa terus bertahan dan terus bisa menanam padi meskipun hasilnya yang tak bersahabat dan tekanan komoditas lain yang terus menggoda petani dan pemilik lahan mengubah sisi penting kehidupan mereka.

 

Salam lestari!

Achmad Siddik Thoha

Kota Air Kapuas Kalteng, 1 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun