Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

‘Sumpah’ Sang Asap

28 Oktober 2015   10:54 Diperbarui: 28 Oktober 2015   10:57 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kabut asap di Sampit (sumber kompas.com 26/10/2015)"][/caption]

"Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut asap yang nyata, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih." (QS Ad-Dukhon: 10-11).

Aku sang Asap. Orang melayu mengatakan aku jerebu. Bahasa Inggris menyamakan aku dengan istilah Haze.

Setiap tahun namaku disebut. Diimana-mana berita tentang diriku dimuat dan ditayangkan. Semua media memberitakan diriku yang menyebar ke penjuru duniai tanpa batas wilayah. Di sumatera aku terus diproduksi sekaligus disalahkan. Di Kalimantan banyak pejabat berkunjung melihat pekatnya diriku. Di Jakarta aku dibahas, diseminarkan, didiskusikan dalam grup pakar oleh pejabat dan ilmuwan. Di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat aku dijadikan amunisi menekan pemerintah dan perusahaan. Di jalanan aku digemakan oleh warga yang menggalang aksi peduli dan donasi.

Lihat, mereka tak juga bisa menghentikanku. Ada sebagian orang yang menginginkanku terus dipelihara. Tak tahukah kalian, bahwa semakin aku memekat, mengaburkan padangangan dan mengkabut, aku makin menghasilkan uang. Miliaran bahkan triliunan uang akan mengalir ke kantong pihak tertentu yang memang menginginkan aku selalu ada.

Biaya memadamkanku sangat besar dbandingkan memcegah. Uang yang banyak akan mengalir  saat aku bisa menutup banyak bandara. Aku semakin dipelihara oleh orang ‘jahat’ bila aku mampu meliburkan sekolah-sekolah. Anggaran semakin gendut saat banyak orang terkena ISPA. Aku seolah dijadikan mesin pembunuh perlahan-lahan oleh para durjana.

Aku terbang sambil mendengar dan melihat ulah manusia. Aku mendegar bahwa semakin banyak kebakaran, mereka akan menangguk banyak uang. Program di tempat mereka bekerja akan mendatangkan banyak dana bila kebakaran makin marak. Sebaliknya bila tak ada kebakaran mereka akan banyak menganggur karena dana tidak akan cair. Jangan heran bila mereka akhirnya membakar lahan sendiri lalu dipadamkan sendiri. Semakin kutahu bahwa manusia lah yang mempermainkanku ketika lahan-lahan terbakar segera ditanam kelapa sawit. Habis asap terbitlah sawit. Hutan terbakar habis tapi sawit semakin bermunculan disana-sini.

"Tak beradab sekali ini oknum abdi Negara ini," teriak sang Asap.

Kudengar sayup dari petugas pemadam perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri. Mereka membayar orang-orang kampung untuk menyulut api di luar areal sampai menjalar ke dalam kawasan hutan perusahaan. Dengan begitu, divisi kebakaran akan mendapat anggaran berlimpah untuk melakukan kegiatan. Ada uang tambahan yang menggiurkan dari menyalanya api dan hangusnya tanaman di lahan konsesi mereka. Ya, sedikit pencitraan, mereka mengirim helikopter dan regu pemadam untuk membantu memadamkan api di areal yang banyak diliput media. Habis lahan terbakar, mereka pun mungkin bisa mendapat asuransi dari tanaman yang terbakar.

"Sungguh tega sekali oknum ini" suara keras Sang asap menggeram marah.

Aku juga tak henti-hetinya dijadikan obyek kesalahan ketika bandara menunda keberangkatan pesawat-pesawatnya. Aku disalahkan ketika ratusan ribu orang terkena penyakit ISPA. Aku dikambinghitamkan saat pengusaha banyak mengalami kerugiaan akibat terhentinya aktivitas usaha. Aku dituding sebagai penyebab meningkatkya gas rumah kaca di Indonesia sehingga banyak Negara mendikte negeriku dengan program yang aneh-aneh.

"Dasar tukang pura-pura. Aku bukannya pelaku dan penyebab. Aku hanyalah akibat yang dibuat oleh manusia serakah tak bermoral." kembali sang asap protes keras.

Betapa marahnya aku, saat aku bisa dihentikan dengan cepat, mereka, oknum petugas berlama-lama agar jatah logistik dan operasional semakin besar. Bahkan mereka membiarkan aku tetap memekat menutup pandangan dan menahan cahaya matahari tembus ke bumi. Aku sangat heran ketika aku keluar dari kebakaran gambut yang berasal dari bawah tanah, petugas pemadam malah menyiramku dengan air dari atas pesawat. Itu tak banyak guna.

Berapa banyak anggaran lagi yang akan kau buang dengan menyewa pesawat mahal itu. Pesawat Australia sudah balik kandang. Pasukan pemadam negeri tetangga juga sudah menyerah. Aku terpaksa memberitahu mereka yang membuang-buang waktu dan uang demi sebuah pemberitaan.

Sungguh sangat mengerikan saat aku menyaksikan ribuan orang menjarah hutan dengan membakar dan mengaklaimnya. Mereka tanpa ampun membabat lalu membakar lahan di taman nasional, cagar alam dan hutan lindung dan hutan milik negera untuk diklaim dan diperjualbelikan. Mereka para mafia lahan ini sangat ganas membakar lahan sehingga aku diproduksi besar-besaran di berbagai provinsi.

Pulau Jawa kusambangi dalam kadar yang sangat kecil. Orang-orang semakin heboh.  Ya hanya heboh tapi tak berbuat banyak saat warga Kalimantan dan Sumatera bergelimpangan di rumah sakit dan satu persatu masuk ke liang kubur. Pemimpin yang berada di Pusat kekuasaan asyik bermain kata-kata antara bencana kemanusiaan, bencana nasional atau tragedi asap. Sementara janji 2 pekan asap hilang sejak 9 Oktober hanyalah sesumbar dan omong kosong tanpa analisa tajam seorang pemimpin.

Tapi aku sangat terharu karena masih banyak warga yang tidak terdampak kabut asap menyalakan harapan buat saudaranya di Sumatera dan Kalimantan. Mereka siang malam menyuarakan keprihatinan terhadap bencana kabut asap. Mereka #MelawanAsap dan #MasihMelawanAsap tanpa kenal lelah. Bantuan dari warga justru terlihat begitu nyata dibandingkan upaya pemerintah. Warga saling berempati dan menyalakan harapan di kegelapan asap yang makin pekat dan menyesakkan.

"Wahai manusia, Aku bersumpah, walau tahun ini kalian bilang ada fenomena El Nino yang kuat, walau banyak ranting, batang, daun, rumput dan belukar sangat kering tersedia serta angin yang kencang, tanpa kalian yang menyulut api, aku takkan muncul dan menyengsarakan kalian. Aku ini ciptaan Allah yang bergerak sesuai suratan takdir."

Aku sangat sedih dan kasihan pada warga yang tak bersalah tapi merasakan penderitaan berbulan-bulan akibat manusia tak bermoral itu. Mereka diabaikan begitu lama. Mereka ada yang 18 tahun setiap dua bulan harus hidup dalam cekikan kabut asap tebal. Tahun ini mereka juga diabaikan oleh penguasa mereka. Nyawa sudah bertumbangan, sementara pemilik kekuasan begitu lamban menyambut tangan-tangan yang melambai membutuhkan bantuan.

"Hai manusia, Sumpah! Apa yang kalian nikmati saat ini adalah akibat apa yang kalian mulai. Kalian menyulut api, kalian pula yang akan terbekap asap."

Bukalah kitab suci kalian dan renungkanlah. Berataubatlah kalian, maka Allah akan turunkan hujan. Para pemimpin, janganlah banyak berwacana dan bermain-main dengan kata-kata. Mintalah maaf kalian pada Tuhanmu dan rakyatmu. Mereka demikian lama kalian abaikan. Sebagai rakyat, kalian juga harus sadar bahwa ketidakpedulian bisa berakibat pada petaka bagi kalian sendiri. Semoga kalian menyadarinya.

Maka renungkanlah Firman Allah berikut. Semoga kalian bisa mendapat pelajaran berharga.

"Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut/asap yang nyata, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih." (QS Ad-dukhon: 10-11).

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (Ar Rum/30:41)

Inilah pengakuanku dan sebagian 'sumpahku' buat kalian manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun