[caption caption="Salah satu konten di media sosial dari warga Palembang yang terpapar kabut asap (dok. Retno Dahaya Mukti-UNSRI Palembang)"][/caption]
Sampai hari ini kabut asap belum menghilang dari udara Indonesia. Berita di media dan lini masa sosial media masih ramai dengan berita kabut asap. Kabut asap tak hanya menghiasi halaman berita di media, tapi sudah menjadi perbincangan publik yang sangat luas. Kabut Asap sempat menjadi Trending Topic Indonesia (TTI) di media sosial Twitter beberapa hari yang lalu. Mengikuti TTI, dapat dilihat berita meluasnya kabut asap dan parahnya dampak bagi warga di tempat terpapar kabut asap. Bahkan kemarin (Kamis, 10/9/2015) muncul berita bahwa kabut asap sudah menyambangi negeri Jiran, Singapura. (Baca kompas.com Warga Singapura, Indonesia Tak Serius Tangani Kabut Asap)
Di Indonesia peran media sangat sentral dalam perkembangan politik dan pemberantasan korupsi. Seharusnya peran media yang “powerfull” ini juga bisa diarahkan untuk memberi perhatian besar pada masalah penanganan kabut asap. Bila ditelisik lebih dalam, kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan bersumber dari aktivitas manusia yang melibatkan banyak isu dan pemangku kepentingan. Sebagai penelusur kebakaran hutan dan lahan, saya membaca banyak artikel ilmiah dan laporan penelitan dimana solusi penanganan kebakaran hutan dan lahan membutuhkan kajian berbagai sudut termasuk perlunya peran media. Perhatian media atau bahkan tekanan (media attention) bila terus bergulir bisa membentuk perhatian politik (political attention).
Saat ini, derasnya arus informasi yang mengalir ke publik dari berbagai kanal media tenyata mampu membuka mata dan menggerakkan pihak yang memiliki tanggungjawab besar dalam menangani kabut asap. Tak tanggung-tanggung Presiden Jokowi langsung turun ke lapangan bahkan blusukan masuk ke hutan yang terbakar di Sumatera Selatan, Minggu (6/9/2015). Arus informasi yang “diciptakan” warga dan media mainstream mampu memberikan tekanan pada pihak yang seharusnya melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan maksimal menangani kabut asap.
Isu kabut asap ini sempat tertutup oleh masifnya isu politik dari anggota DPR. Kasus Donald Trump dan Anggota DPR dibahas begiru detil dan bertubi-tubi hingga menjadi gelombang informasi yang sangat besar. Namun, warga di daerah yang terbekap kabut asap, juga tak henti-hentinya menyuarakan kepedihan mereka bertahan dalam kabut asap. Kini, fasilitas obrolan seperti LINE, Whatsapp dan BBM di smartphone juga menjadi saluran menyampaikan keprihatinan dan berita kabut asap. Posting dan share tentang kondisi kabut asap menjadi konten yang mendapat respon cepat dari pengguna smartphone sehingga informasi semakin massif menyebar ke berbagai kalangan.
[caption caption="Kabut Asap di Singapura (sumber kompas.com 10/9/2015)"]
Seperti halnya agenda politik yang banyak diwarnai dan dibentuk oleh opini publik melalui media, tekanan politik penanganan kabut asap bisa dibentuk melalui perhatian media yang besar. Akses data dan informasi yang sangat terbuka dan mudah bisa menjadi modal bagi pewarta profesional maupun pewarta warga untuk memberi penekanan pada pentingnya politisi dan pemangku politik memberi porsi besar pada penanganan kabut asap di Indonesia. Sudah banyak contoh bahwa tekanan media dapat membuat pemegang keputusan cepat bertindak menangani keluhan dan kebutuhan masyarakat. Dengan perkembangan dunia informasi teknologi dan pesatnya pemakaian sosial media, tekanan media ini akan bisa menunjukkan kekuatannya menekan kekuatan politik untuk secara serius menangani kebakaran hutan dan lahan.
Media attention kini sudah semakin menguat. Saatnya bandul media attention beralih ke political attention untuk memberikan perhatian yang besar bagi penanganan kabut asap. Ingat, bencana kabut asap ini bisa menjadi bencana kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah bila terus menerus terjadi tanpa penanganan serius. Sudah 20 tahun lebih warga di berbagai wilayah di Indonesia hidup dengan menghirup udara yang melemahkan dan membunuh mereka perlahan. Bisa jadi kita akan memiliki generasi dengan produktivitas yang rendah atau kehilangan satu generasi atau melahirkan generasi yang lemah karena paparan kabut asap yang berkepanjangan. Naudzubillah min dzalik. Semoga tidak terjadi.
Salam Lestari
Achmad Siddik Thoha
Penelusur dan Peneliti Kebakaran Hutan dan Lahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H