Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Inspirasi Hidup dari Pohon Anggur

1 Juli 2012   15:08 Diperbarui: 4 April 2017   18:10 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13411552121265594103

[caption id="attachment_191984" align="aligncenter" width="620" caption="Buah Anggur (dok. kompas.com di http://health.kompas.com/read/2012/01/16/11582947/Cegah.Kebutaan.dengan.Buah.Anggur)"][/caption]

Memasuki lahan penuh dengan tanaman merambat terarah sesuai desain rambatannya, mengingatkanku pada masa dua puluh tahun silam Tanaman dengan buah menggantung yang ranum dan menggugah rasa. Kebun anggur ini pernah mengingatkanku pada sebuah kenangan indah masa kecil. Saat kami dengan riang menunggu buah dilempar dari atas oleh sahabatku, Opek.

”Anto, tangkap!” Opek sudah memegang sekumpulan buah anggur yang siap diluncurkan.

”Hup, wah jatuh pek.” Anto gagal menyelamatkan semua buah yang dilemparkan Opek dari atas tangga. Anto memang pemain bola handal di sekolah, tapi tidak sebagai penajaga gawang, karenanya dia tidak lihai menangkap.

”Sini, Pek, aku belum.” aku memohon. ”Hati-hati, ini manis loh, Dik” Opek dengan pelan melempar buah anggur yang terikat dalam satu rangkaian indah.

”Ops....sip. Aman, Pek.” Mataku berbinar karena tangkapanku tak mencederai anggur. Aku memang sering jadi penjaga gawang bila bermain bola. Tangkapanku menyelamatkan buah anggur itu dari bonyok karena terhempas ke tanah.

Setelah itu, kami menikmati anggur-anggur yang nikmat dibawah naungan dedaunan tanaman anggur di rumah sahabatku, Opek. Udara panas di luar tak kami rasakan. Siang itu menjadi kenangan indah kami. Canda dan tawa di bawah tanaman anggur adalah memori indah masa kecil kami. Siang itu hati kami serasa sangat damai.

Buah anggur inilah jembatan kenangan indah masa kecil kami. Saat itu kami sebatas hanya menikmati betapa nikmatnya buah anggur dan sangat nyamannya berteduh dibawah rindang dedaunannya.

Dua puluh tahun berlalu, kebun anggur ini terlihat berbeda dalam benakku. Terbayang dalam pikiranku bagaimana tanaman anggur ini tumbuh hingga berbuah lezat. Aku kini tahu cuaca yag panas dan jarangnya hujan di kotaku justru merupakan tempat tumbuh yang sangat cocok buat anggur. Kotaku terkenal dengan produksi anggur yang sangat lezat.

Aku mulai merenung bagaimana anggur ini tumbuh dan berkembang. Mulai dari bibit yang harus dipupuk hingga menghasilkan batang yang cukup menghasilkan cabang-cabang baru. Cabang-cabang dan tunas baru harus rela dipangkas untuk menghasilkan cabang baru yang merambat dan menghasilkan bunga. Cabang baru inilah yang akan menghasilkan buah lezat.

Anggur tidak bisa dibiarkan tumbuh sendiri secara liar. Ia perlu tempat rambatan yang terarah. Ia harus diatur dan diarahkan rambatannya agar terlihat indah dan tumbuh dengan baik. Ia perlu ditopang tubuhnya dengan bambu atau kawat agar menjadi sosok tanaman yang meneduhkan dan buahnya tampil menawan. Ia harus dibatasi pertumbuhan ranting dan daunnya. Pada masa tertentu ia harus rela dipangkas ranting dan daunnya. Ranting-ranting layu dan daun-daun kusam harus rela dipotong.

Anggur melalui proses yang tidak mudah dalam hidupnya. Ia selalu harus mengalami masa-masa yang menyakitkan. Ia melewati kondisi kekeringan dengan menggugurkan daun-daunnya. Ia tak bisa menolak bila pemilik kebun memangkas ranting dan cabangnya karena itu untuk kebaikannya. Ia tahu semua ini harus dijalani dengan lapang untuk hasil terbaik yakni sosok yang indah, teduh dan buah yang lezat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun