“Bang, tolong bilangkan ke dia, apa bisa aku foto bareng sama dia?” Ungkap seorang tukang bengkel di Jalan Trans Kalimantan Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Dia yang dimaksud adalah seorang gadis bule yang sedang saya damping dalam penelitian.
Saya kemudian balik bertanya, “Buat apa, Bang.”
“Aku mau taruh di Facebook, Bang.”
Gubrak!
Hati saya berkecamuk. Saya menahan tawa bercampur sedikit kesal.
***
Itulah sepenggal kejadian yang tidak mudah saya lupakan selama sepekan mendampingi mahasiswa asing di Kalimantan. Sebuah kisah perjalanan yang kadang membuat segala sesuatu yang saya alami bisa sangat menegangkan namun sekaligus membuat senyum bisa terkulum. Menegangkan karena saya bertanggungjawab atas keselamatan, kenyamanan dan kelancaran selama orang asing tersebut berada di Kalimantan. Senyum selalu terkulum ketika saya melihat keluguan sekaligus kekonyolan warga desa melihat kehadiran orang asing di kampungnya apalagi itu seorang gadis.
Nasib orang asing itu selain bergantung pada Tuhan, saya juga ikut menentukan nasibnya, termasuk pada siapa dia boleh berfoto. Tidak hanya masalah berfoto, saya bisa menentukan dia harus makan atau tidak, ke kamar mandi atau tidak atau bahkan tidur atau tidak. Mengapa?
Pertama, masalah bahasa. Tentu saja orang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia nasibnya tergantung pada pemandunya, salah satunya saya. Meski dia membawa kamus, tetap saja dia lebih percaya pada saya daripada kamus. Kedua, penguasaan medan. Saya sudah pernah datang ke tempat yang akan dia (orang asing) kunjungi. Saya tahu banyak kondisi alam, harga barang, jalur transportasi, tempat menginap dan lain-lain. Ketiga, saya dekat dengan orang lokal. Meskipun saya sendiri tahu lokasi dan kondisinya, tanpa orang lokal saya juga kurang percaya diri mendampingi orang asing. Karena orang lokal sangat percaya dan nyaman dengan saya, mahasiswa asing ini menurut saja.
Pada kondisi saya yang “diatas” angin, bisa saja saya memperlakukan apa saja padanya. Tapi inilah ujiannya. Saya harus menjaga kenyamanan dia lahir batin., termasuk menjaga privasi dia untuk tidak begitu saja dimanfaatkan orang lain, termasuk menolak orang yang tidak jelas untuk meminta berfoto bersama.
Kehadiran orang asing ke kampung memang menarik sangat menarik perhatian. Saat mahasiswa asing yang saya damping melewati orang-orang di desa, semua mata terperanjat. Mahasiswa asing ini bak magnet yang membuat semua mata tertuju padanya.
“You attrack many people here.” Ungkap saya pada mahasiswa asing itu.
Mahasiswa asing itu hanya tersenyum. Entah apa makna senyumnya. Senyum senang atau senyum hanya untuk menenangkan hatinya karena sangat khawatir dengan bentuk perhatian yang berlebihan padanya.
Saya merasa maklum pada orang desa di Kalimantan yang sangat tertarik dengan kehadiran orang asing di kampungnya. Ketertarikan mereka ditunjukkan dengan hal yang positif dengan cara memberi banyak informasi untuk membantu kelancaran saya dan teman mahasiswa asing. Bukan mengekploitasi kehadiran orang asing dengan cara “memeras” mereka. Tentu saja ini sangat menguntungkan bagi saya, karena urusan penelitian saya juga terbantu dengan pelayanan warga yang ramah, menyenangkan dan bersahabat.
“You have to take pictures with them” saya meminta mahasiswa asing itu berfoto dengan warga yang sudah member informasi yang dia butuhkan. Dia menurut dan percaya pada saya. Ini menjadi bukti bahwa saya bisa menyuruhnya tanpa ada hambatan.
Menguasai bahasa memang bisa menguasai seseorang. Namun bahasa yang fasih tanpa kepercayaan, orang tidak akan tunduk dan patuh pada kita. Sebaliknya, bahasa sederhana bisa membuat orang nyaman dan patuh dengan kita karena kita dipercaya.
Salam
*Kapuas, 17 Juni 2012 (catatan penelitian)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H