Berita tentang pencarian korban dan perangkat pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di sekitar kawasan Gunung Salak Cijeruk Bogor tetap menjadi berita terhangat. Kegiatan Search and Rescue (SAR) para relawan yang mengevakuasi korban, meninggalkan banyak kisah mengharu-biru. Drama pencarian Blackbox yang penuh sensasi membuat media selalu siaga penuh untuk tidak melewatkan waktu berlalu tanpa update berita. Demikian pula identifikasi korban yang sampai saat ini membuat keluaga korban berdebar-debar.
Aktifitas seluruh elemen bangsa yang terlibat dalam Tim SAR Gabungan patut diacungi jempol. Tim SAR gabungan yang berasal dari TNI/POLRI, BASARNAS, PMI, relawan pecinta alam dan elemen masyarakat lainnya berjuang tanpa kenal lelah dalam misi kemanusiaan. Demikian pula, jauh dari Negeri Beruang Merah, tim SAR Rusia juga bergabung memberi dukungan untuk mempercepat proses evakuasi korban, pencarian peralatan vital dan puing pesawat. Bahkan banyak pihak yang menaruh apresiasi tinggi dan siap memberi penghargaan yang tinggi bagi tim SAR.
[caption id="attachment_182117" align="aligncenter" width="310" caption="Koordinat Lost Contact Sukhoi (Sumber : http://forum.vivanews.com/berita-dalam-negeri/354643-hilangnya-pesawat-sukhoi-superjet-100-a.html)"][/caption]
Kini kegiatan SAR akan segera berakhir. Di balik kisah yang membanggakan dari Tim SAR gabungan, tersisa sebuah fenomena yang belum menjadi perhatian media, yaitu kerusakan lingkungan. Tidak bisa dipungkiri, aktivitas SAR yang melibatkan ratusan anggota meninggalkan jejak kerusakan di kawasan konservasi terkenal di dunia yaitu di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 berada di zona inti, dimana terdapat kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya berupa keanekaragaman hayati dan fungsi perlindungan yang sangat vital.
[caption id="attachment_182108" align="aligncenter" width="448" caption="Lokasi Jatuhnya Gunung Salak via Google Earth (sumber: analisis pribadi berdasarkan koordinat lost contact)"]
Apa itu TNGHS?
Banyak orang yang hanya mengenal Gunung Salak sebagai kawasan berbukit dengan berbagai keunikannya. Mulai dari keterjalan lerengnya, tebalnya kabut, medan pendakian yang berat hingga aroma magis di kawasan berhutan lebat ini. Namun tidak banyak yang mengenal bahwa Gunung Salak, khususnya puncak Salak 1 berada di areal Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Taman Nasional merupakan kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan suaka alam. Disebabkan oleh kekhasan kawasan dan fungsinya yang sangat vital bagi pelestarian keanekaragaman hayati dan perlindungan lingkungan, maka TNGHS mendapat prioritas yang tinggi dalam pelestariannya.
[caption id="attachment_182121" align="aligncenter" width="448" caption="Zonasi TNGHS, tanda lingkaran merah lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi SuperJet 100 (sumber peta : TNGHS 2012)"]
Menurut sumber TNGHS (2011), kawasan hutan Gunung Halimun ditetapkan menjadi taman nasional sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha, di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Ditjen PHKA, Departeman Kehutanan.
Perkembangan kondisi di sekitar kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas.
Berdasarkan kondisi tersebut dan pengkajian yang komprehensf maka pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No.175/Kpts-II/2003, yang berisi tentang perubahan fungsi kawasan eks. Perum Perhutani atau eks. hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun- Salak (TNGHS). Berdasarkan SK penunjukan tersebut luas kawasan TNGHS menjadi 113,357 ha dan menjadikan TNGHS sebagai salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa.
Kondisi Biofisik TNGHS
Berdasarkan topografi, kawasan TNGHS berada pada ketinggian berkisar antara 500 sampai 2.211 m dpl (meter dari permukaan laut). Oleh sebab itu kawasan ini juga dikenal dengan kawasan konservasi hutan pegunungan yang terluas di Pulau Jawa. Beberapa puncak gunung di kawasan ini memiliki ketinggian antara 1.700 - 2.211 m dpl. Secara resmi beberapa jalur pendakian ke puncak gunung di TNGHS belum dibuka dan ditata secara khusus. Tetapi beberapa puncak gunung dan hutan yang relatif masih lebat telah menarik didaki dan dikunjungi oleh berbagai kelompok pecinta alam, dengan memenuhi syarat pendakian : seperti membuat ijin pendakian, mempelajari peta jalur pendakian, pendakian didampingi petugas/orang yang sudah mengetahui jalur pendakian, mempersiapkan diri secara fisik dan perbekalan makanan yang cukup.
Beberapa gunung di TNGHS yang memiliki ketinggian di atas 1.000 m dpl antara lain adalah sebagai berikut : a. Gunung Halimun Utara (1.929 m dpl) b. Gunung Botol (1.720 m dpl) c. Gunung Sanggabuana (1.919 m dpl) d. Gunung Kendeng Selatan (1.680 m dpl) e. Gunung Halimun Selatan (1758 m dpl) f. Gunung Puncak Salak 1 (2211 m dpl) g. Gunung Puncak Salak 2 (2190 m dpl)
Kekayaan alam yang menakjubkan dari TNGHS juga terletak pad kekayaan flora dan faunanya. Di kawasan hutan dataran tinggi berkabut ini dijumpai lebih dari 1000 jenis tumbuhan yang terdiri dari 391 genus dan 119 famili. Di kawasan ini dijumpai 12 jenis Bambu, 9 jenis Rotan, lebih dari 260 jenis Anggrek dan banyak jenis dari tumbuhan obat, tanaman hias dan paku-pakuan (TNGHS, 2012)
[caption id="attachment_182123" align="aligncenter" width="448" caption="Keanekargaman Flora di TNGHS (Sumber, TNGHS 2012)"]
Satwa di kawasan TNGHS sangat kaya ragamnya. Tercatat beberapa satwa langka dan dilindungi menempati habitat khas di hutan ini yang merupakan daerah hulu sungai yang bermuara di Jakarta dan Tangerang. Beberapa satwa atau fauna yang menghuni TNGHS yaitu 5 jenis primata, 67 jenis mammalia, 16 jenis katak, 12 jenis kadal, 9 jenis ular, 77 jenis kupu-kupu, 244 jenis burung (32 jenis endemik Jawa dan 16 jenis burung pemangsa) (TNGHS, 2012).
[caption id="attachment_182125" align="aligncenter" width="448" caption="Keanekaragaman Fauna di TNGHS (Sumber: TNGHS 2012)"]
Fungsi Kawasan TNGHS
Selain memiliki kondisi biofisik yang unik dan sangat kaya, TNGHS berperan penting bagi berjalannya fungsi kehidupan baik bagi manusia maupun lingkungan. Di sekitar kawasan TNGHS terdapat 314 Kampung yang hidupnya tergantung pada keberadaan dan fungsi TNGHS. Daerah hutan pegunungan ini menjadi sangat vital karena di dalamnya terdapat 12 DAS (Daerah Aliran Sungai), 41 Sub-DAS yang didalamnya mengalir sebanyak 117 sungai dan anak sungai yang berhulu di kawasan TNGHS. Dari sungai sebanyak itu 9 DAS bermuara di Samudera Indonesia (Kab. Sukabumi dan Kab. Lebak; dan 3 DAS bermuara di Laut Jawa (Kota Serang, Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta); 15 Sub DAS berhulu di wilayah Kab. Lebak, 14 Sub DAS berhulu di wilayah Kab. Bogor dan 12 Sub DAS berhulu di wilayah Kab. Sukabumi; 41 sungai berhulu di wilayah Kab. Lebak, 42 sungai berhulu di wilayah Kab. Bogor, dan 34 sungai berhulu di wilayah Kab. Sukabumi.
[caption id="attachment_182127" align="aligncenter" width="448" caption="Daerah Aliran Sungai di TNGHS (Sumber: TNGHS 2012)"]
Disamping itu TNGHS juga memiliki peranan penting bagi penyangga lingkungan. Keberadaan hutan yang masih terpelihara berperan besar dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca terutama dalam penyerapan gas CO2. Melalui proses fisiologis pepohonan, oksigen dari kawasan ini bisa mensuplai kebutuhan udara segar bagi beberapa kabupaten yang ada di sekitarnya. Air bersih untuk dasar manusia, mandi dan pengairan pertanian saat ini terus terjaga dengan keberadaan TNGHS. Demikian pula, lokasi strategis yang tidak jauh dari kota-kota ramai di Jabodetabek membuat kawasan ini ramai dikunjungi sebagai tujuan wisata alam.
Kerusakan yang ditimbulkan dari aktifitas SAR
Sejak awal proses SAR dan evakuasi sedikitnya 2000 anggota tim SAR gabungan silih berganti beraktifitas di kawasan Gunung Salak yang dipusatkan di Desa Cipelang Cijeruk Kabupaten Bogor. Menurut Komandan Distrik Militer Kolonel Anton Mukti Putranto di Posko Cijeruk, Jumat (10/5/2012), mekanisme estafet dipilih dalam proses pencarian bangkai pesawat Sukhoi dan evakuasi korban. Pada saat itu, ada 529 orang dari tim Alfa, Bravo, Charlie, dan Delta. Kemungkinan tambahan sekitar 500 orang akan dikerahkan untuk evakuasi (Baca kompas.com : Jenazah Kemungkinan dibawa Lewat Darat )
Jumlah tersebut merupakan jumlah yang sangat banyak dan membuat tekanan yang sangat berat bagi lingkungan. Selain terbukanya hutan akibat jatuhnya pesawat, pembuatan Helipad di sekitar puncak Salak 1 memakan puluhan pohon yang harus ditebang. Menurut Dandim Kabupaten Bogor, Letkol Mukhlis di Pasir Pogor, Bogor, Jawa Barat, Kamis (17/5/2012), ada sekitar 50 x 25 meter luas lahan yang ditebang pohonnya di Puncak Manik. (baca Tribunnews.com: TNI Tanam Pohon di Puncak Gunung Salak ). Saat kegiatan pendakian dan SAR, injakan ratusan kaki di areal sempit sehingga terjadi pemadatan tanah. Pemadatan tanah ini berdampak pada turunnya daya tanah menyerap air dan menimbulkan aliran permukaan yang lebih besar saat turun hujan. Belum lagi banyak lahan hutan yang harus ditebas untuk membuat rintisan saat pendakian dan membuat jalur evakuasi. Ketika membangun tenda darurat di puncak, dipastikan tim SAR akan menebas beberapa batang kayu untuk keperluan “camping”. Tak kalah tertekannya adalah satwa yang menghuni areal SAR akan mengalami stress dan rusak habitatnya akibat mondar-mandirnya Helikopter dan manusia. Jangan lupa, sampah tentu saja bertebaran dimana-mana akibat banyaknya sisa atau sampah logistik yang dipergunakan saat operasi SAR.
[caption id="attachment_182129" align="aligncenter" width="465" caption="Kerusakan Pohon dan Tanah akibat Jatuhnya Pesawat Sukhoi (Sumber gambar http://www.acehbarat.com/2012/05/ktp-nur-ernawati-ditemukan-tim-mapala-ui/)"]
Kerusakan tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja. Flora, fauna, tanah, air dan udara juga makhluk Tuhan yang berhak menikmati hidup sesuai karakternya. Apalagi kawasan Gunung Salak adalah tempat yang sangat penting bagi pemenuhan anyak kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Tidak Asal Menanam
Kepedulian akan pentingnya mengembalikan kondisi Gunung Salak atau kawsan TNGHS pada semula sudah terungkap. Sebagai wujud kepedulian terhadap alam di Gunung Salak, tim SAR gabungan akan melakukan penanaman kembali dengan bibit-bibit tanaman.Hal ini seperti diberitakan oleh Tribunnews.com yang mengutip pernyataan Dandim Kabupaten Bogor, Letkol Mukhlis di Pasir Pogor, Bogor, Jawa Barat, Kamis (17/5/2012). "Saat membuat landasan ada pohon yang ditebang di puncak sana, itu harus kita ganti, sehingga dengan kegiatan ini tidak boleh ada yang rusak," Ungkap Letkol Mukhlish (Baca Tribunnews.com: “ TNI Tanam Pohon di Puncak Gunung Salak)
Penanaman pohon hendaknya memperhatikan peraturan reboisasi atau rehabilitasi kawasan Taman Nasional. Di Kawasan Nasional jenis bibit untuk penanaman disarankan harus berasal dari jenis lokal (asli) setempat atau jenis asli ekosistem Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Hal ini penting dilakukan agar fungsi dan keberadaan kawasan TNGHS tidak berubah. Penanaman jenis pohon baru apalgi berasal dari luar ekosistem TNGHS justru bisa merusak struktur, komposisi dan keakeragaman hayati yang ada. Seperti yang pernah terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), saat ini sudah banyak ditemui jenis invasive species yang mendominasi kawasan. Jenis tumbuhan invasive ini mengubah struktur dan komposisi jenis vegetasi sehingga mengganggu kehidupan satwa dan vegetasi lain yang hidup sebelumnya.
Seperti yang dilansir oleh detik.com, bahwa TNI siap menghijaukan kawasan helipad dengan 60 bibit pohon trembesi (Baca Detik.com: Jika Evakuasi Usai, TNI siap Hijaukan Lagi Helipad di Gunung Salak )
Selama ini rehabilitasi kawasan TNGHS, pohon yang direkomendasikan berasal dari jenis pohon Puspa (Schima wallichii) dan Rasamala (Altingia excelsa Noronha). Karakteristik pohon Puspa bisa di ihat dan Rasamala bisa simak di link berikut :
Puspa http://id.wikipedia.org/wiki/Puspa_(kayu) Rasamala http://id.wikipedia.org/wiki/Rasamala
Jenis trembesi bukanlah jenis asli kawasan TNGHS sehingga akan mengalami kesulitan beradaptasi atau sebaliknya, bisa mendominasi kawasan sehingga merubah struktur dan komposisi jenis. Disampig itu, pakan satwa juga akan berkurang karena tumbuhan sumber pakan yang asli semakin berkurang.
Semoga proses evakuasi, identifikasi dan investigasi kecelakaan pesawat Sukhoi SuperJet 100 segera tuntas sehingga kegiatan rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak juga segera dilakukan.
Salam hijau. Hidup Tim SAR Gabungan ! Lestari Hutanku !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H