“Di kota Bogor, saya salah satu pengedar yang menjajakan pil Koplo dan ganja. Mangsanya anak sekolah, Pak.”
“Apa anak sekolah gampang, Pak?” Tanyaku mulai antusias
“Gampang, Pak dan relatif aman. Saya dapat untung besar. Lumayan, satu hari bisa 100 ribu saya bawa pulang.”
“Pasokan barangnya dari mana?”
“Dari Bandung. Daerah Cianjur, Sukabumi, Kota dan Kabupaten Bogor dipasok dari Bandung. Saya beli per Ban (Sebentuk bantal) untuk Pil Koplo, lalu di bungkus kecil-kecil dalam plastik dan dimasukkan ke dalam kotak korek api. Kalau ganja saya beli per Am (amplop) lalu saya campur dengan rokok. Jadi saya di sekolah seolah sebagai pedagang rokok, Pak.”
“Gak ketahun polisi?” Aku mulai sedikit menginterogasi bak polisi.
“Aman, Pak. Polisi sudah kita bayar. Nama polisinya saya masih ingat betul. Selama polisi itu tidak ketahuan mem-backing narkoba, kita akan aman menjalankan profesi. Tapi sekali kena, semua jaringan kita akan habis.”
“Jadi Polisi yang backing Bapak ketahuan?” Aku tak sabar mendengar cerita berikutnya.
“Ya, polisi itu ketahuan dan dipecat. Kami para pengedar akhirnya kabur. Ada teman saya yang kabur Ke Kalimantan, Ke Sumatera dan tempat yang jauh dari Bogor. Saya sendiri awalnya malah tinggal dekat dengan Polsek. Malah aman. Tapi keberadaan saya masih diikuti oleh pengedar hingga akhirnya saya pindah ke pelosok desa.”
“Bagaimana akhirnya Bapak berhenti jadi pengedar dan pemakai narkoba?”
“Saya dihantui ketakutan karena jadi buronan polisi. Saya mencari jalan bagaimana caranya berhenti dari pekerjaan jahat ini. Pernah saya masuk ke lubang kuburan yang besok harinya akan diisi mayat. Saya tidur di dalam lubang kuburan dan mengandaikan diri saya sudah mati. Saya berpikir, kalau saya mati dalam kondisi penuh dosa seperti ini, sungguh menyesal saya.”