Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Dosen Merangkap Menjadi Mahasiswa Senior

22 Februari 2012   04:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kisah awal saya bekerja menjadi seorang pengajar mahasiswa alias dosen. Bulan Juni 1999 saya menginjakkan kaki di Bumi Kesultanan Deli, Medan bersama 11 teman lain yang masih fresh graduate dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Bogor. Saya diterima menjadi dosen di sebuah PTN di Medan yang baru membuka jurusan baru. Jurusan baru tersebut adalah jurusan kehutanan yang saat itu bernama Program Ilmu Kehutanan.

Saat mulai bekerja, kami hanya mondar mandir gedung rektorat dan menempati ruang rapat tanpa meja dan kursi yang jelas. Asal ada kursi kosong di ruang rapat, disitulah saya dan teman-teman bekerja untuk membuat rencana induk pengembangan jurusan baru ini. Saat itu mahasiswa belum ada yang masuk karena baru diadakan pendaftaran Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Bulan Agustus mulailah mahasiswa baru mendaftar. Kami sangat senang karena akan berjumpa dengan mahasiswa pertama. Ini menjadi sebuah momentum yang berharga bagaimana menjadi dosen yang merintis sejak awal pendirian jurusan dan juga mencetak calon sarjana dari awal.

Kegembiraan kami mulai bercampur dengan keresahan. Ternyata masa orientasi studi dan pengenalam kampus (OSPEK) mahasiswa nanti, kamilah yang menjadi panitia inti. Mereka belum memiliki senior, sedangkan jurusan kami tidak bergabung dengan fakultas manapun saat itu. Artinya kami, saya dan sebelas teman dosen baru, harus merangkap menjadi ‘senior’ yang akan meng-ospek mereka disamping sebagai dosen.

Peran ganda ini sebenarnya tidak sulit, karena kami sudah terbiasa sejak mahasiswa menjadi panitia OSPEK. Bahkan OSPEK kami, mahasiswa kehutanan, semasa mahasiswa adalah OSPEK paling beringas di kampus. Yang menjadi masalah, kami belum tahu betul karakter mahasiswa di Medan dan iklim kampus USU. Sudah menjadi berita umum, bahwa orang medan itu keras, terutama bicaranya. Sebagai pendatang baru di Medan kami jalani saja tugas itu, meng-OSPEK mahasiswa baru.

Insiden yang tidak diinginkan terjadi. Hari pertama, salah satu teman dosen, terlibat cekcok mulut dan hampir bentrok fisik dengan salah satu senior dari sebuah fakultas. Sebabnya, kami sangat protektif dengan mahasiswa kami dan mahasiswa senior fakultas lain itu tidak tahu kami adalah dosennya. Maklum, saat itu usia kami dengan mahasiswa hanya terpaut 3-4 tahun. Wajah yang lugu, polos dan imut-imut.

OSPEK berlangsung tegang. Saya dan teman-teman memainkan peran masing-masing. Saya kebagian peran ‘serem’ bagian menghukum kesalahan mahasiswa. Mau tak mau saya harus bertindak sangar, keras dan sedikit ‘pemarah’ meski wajah mahasiswa saya lebih seram dari kami. Mahasiswa kami genjot dengan tugas dan pekerjaaan yang membuat mereka tertekan. Terkadang saya harus bermain sandiwara untuk membuat suasana sangat tegang sehingga disiplin bisa ditegakkan. Saking tegangnya, tanpa sengaja saya merobek baju salah satu mahasiswa. Padahal waku itu saya hanya mau menarik kertas nama yang dikalungkang dileher mahasiswa yang salah. Karena saking cepat dan kerasnya tarikan saya, jari saya menyangkut ke kancing bajunya dan apa yang terjadi,

“Breeet”

Bunyi sobekan baju salah satu mahasiswa menyentak semua perserta OSPEK dan teman-teman dosen. Saya begitu terkejut. Namun wibawa ‘senior’ dan dosen tak boleh luntur. Saya tetap menjaga ketenangan hati saya meskipun saya lihat mahasiswa-mahasiswa yang badannya dua kali lebih besar dari saya sudah mulai melotot. Sebenarnya saya ingin terbahak-bahak saat itu membayangkan, kok bisa saya 'sekejam' itu.

Ternyata usaha kami membuat mahasiswa ‘tertekan’ saat OSPEK berhasil menyatukan mereka. Tanpa ada kekerasan fisik dalam OSPEK, mahasiswa kami menjadi kompak dan disiplin. Di luar kelas, kami, para dosen muda selalu dekat dengan mereka. Kadang kami bermain bola bersama-sama, tanpa ada rasa canggung. Beberapa kali saya mengajak mereka mendaki gunung dan camping bersama di hutan. Bila ada kesempatan, saya berkunjung ke tempat kos mereka untuk lebih paham kondisi sosial mahasiswa.

Hubungan kami dengan mahasiswa saat itu bak abang dengan adiknya, tanpa mengurangi wibawa kami dan rasa hormat mahasiswa. Inilah yang membawa kesan mendalam bagi kami, para dosen perintis dan mahasiswa pertama. Hubungan yang begitu dekat terjalin kuat hingga kini. Sebagian besar mahasiswa pertama saya sudah menjalani karirnya dengan sukses saat ini. Ini yang melegakan sebagai seorang guru mahasiswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun