Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Boleh Narsis Asal Berempati

11 Februari 2012   16:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1328976896729567097

[caption id="attachment_162164" align="alignleft" width="300" caption="Image by duniapsikologi.com"][/caption] Pernahkan Anda bertemu dengan seseorang pengendara mobil menyerempet sepeda motor, lalu dia berlalu tanpa ekspresi, seolah tak merasa bersalah dan malu.

Seringkah kita melihat pemain sepak bola yang men-tackle pemain lawan dengan sangat ‘sadis’ namun tak ada tanda di wajahnya dia menyesal dan malu. Malah dia merasa senang melakukannya karena toh banyak yang memujanya.

Barangkali Anda juga pernah melihat seorang terdakwa pembunuhan sadis, saat disidang berbicara tanpa ada penyesalan dan rasa malu bahkan  berteriak dengan bangga

Fenomena di atas mungkin adalah sesuatu yang ‘aneh’ karena memang melawan sisi moralitas yang seharusnya mereka miliki. Rasa kasihan, malu dan empati sudah membunuh kepedulian pelaku-pelaku kurang bermoral diatas. Mungkin pernyataan Daniel Goleman dalam bukunya Social Intelegence mewakili peristiwa di atas :

"Bila rasa peduli kepada orang lain sudah mati, seseorang umumnya termasuk dalam salah satu tipe yang oleh para psikolog dijuluki "Tiga Sekawan Kelam" : Narsisis, Machiavellian dan Psikopat". Dengan kadar yang berbeda, ketiga tipe ini sama-sama memiliki pusat: berniat jahat secara sosial dan berniat menipu, egosentris dan agresi serta sikap dingin secara emosi" (hal 158). Tulisan ini akan sedikit memberi sedikit pandangan tentang Narsisis, yang lebih popular saat ini dengan istilah Narsis.

Narsis, berasal dari Mitos Yunani, Narcissus, seorang pria yang begitu tertarik oleh ketampanannya sendiri sehingga ia jatuh cinta pada citranya sendiri yang terpantulkan oleh sebuah danau. Echo, seorang wanita, juga jatuh cinta padanya, namun ia ditolak dan akhirnya patah hati, tidak mampu bersaing dengan penyanjungan diri sendiri yang dimiliki Narcissus.

Seperti ditunjukkan oleh mitos itu, banyak orang narsistik menarik orang lain karena kepercayaan diri yang mereka pancarkan bisa memberi aura karismatik. Meskipun mereka cepat untuk mematikan orang lain, orang2 narsistik yang tidak sehat (ada narsistik sehat) memandang diri mereka sendiri secara amat positif. dapat dimengerti, mereka merasa paling bahagia dalam suatu perkawinan dengan seseorang yang senantiasa menjilat. Slogan sang Narsistik mungkin "Orang lain ada untuk memujaku" (Daniel Goleman dalam Social Integence Hal. 165-166)

”Jenis narsisisme yang sehat berasal dari keyakinan anak yang dicintai bahwa ia adalah pusat dunia, bahwa kebutuhannya adalah prioritas setiap orang lain. Dalam bahasa dewasa, sikap yang sama ini menjadi matang berubah menjadi pengargaan diri positif yang memberinya kepercayaan diri yang pada tempatnya dengan tingkat bakatnya, suatu unsure esensial untuk kesuksesan. Tidak memiliki kepercayaan diri seperti itu, orang tidak jadi menggunakan karunia atau kekuatan apa pun yang mungkin mereka miliki.”

Tapi ingat, sehatnya narsis tak berarti ia keluar dari julukan Tiga Sekawan Kelam seperti ditulis di paragraph sebelumnya. Tetap saja narsis adalah “penyakit” sosial yang sedang mewabah saat ini. Namun Pak Daniel memberi arahan berikutnya. Yuk simak kutipan dibawah ini.

“Apakah seorang narsisis itu sehat atau tidak sehat bisa ditentukan berdasarkan kemampuan akan empati. Semakin timpang kemampuan seseorang untuk menimbang perasaan orang lain, semakin kurang sehatlah narsisisme mereka.”

Hmm, ternyata bila kita tidak menimbang perasaan orang lain saat tampil, berkarya dan berekspresi bisa jatuh pada kategori narsis yang tidak sehat, ya Nah ini dia apa yang dikatakan dengan narsis tidak sehat. Simak penjelasan Pak Daniel lagi.

”Namun pada orang-orang narsisistik tak sehat dikagumi lebih daripada dicintai. Mereka kerapkali adalah inovator-inovator dalam bisnis, mereka digerakkan untuk mencapai bukan karena mereka memiliki standar keunggulan internal yang tinggi namun karena mereka ingin mendapatkan penghargaan istimewa dan kejayaan yang diberikan oleh pencapaian. Tidak banyak peduli tentang bagaimana tindakan-tindakan mereka mempengaruhi orang lain, mereka merasa bebas untuk mengejar sasaran mereka secara agresif, berapapun biaya manusianya. Dalam masa-masa amat bergejolak, jelas Maccoby pemimpin-pemimpin ini bisa kelihatan enarik, meskipun karena mereka memiliki keberanian mengambil resiko untuk menjalankan program-program yang menghasilkan perubahan radikal.”

Wow, ternyata pebisnis handal dan inovator ulung itu bisa terjangkiti narsisis yang tidak sehat ya. Biasanya sih orang punya kelebihan, ketenaran, kekayaan, ilmu dan ketrampilan rwan tersrang narsistik. Lalu ada lagi yang bahaya, narsistik itu jengah dengan kritik. Nah ini nih yang tidak baiknya, bisa-bisa jadi somse deh alias sombong. Sombong kan artinya menolak kebenaran dari orang lain dan merendahkan orang lain. Simak aja deh pendapat Pak Daniel berikut biar komplit.

”Orang-orang narsisistik tak sehat lazimnya tidak memiliki perasaan harga diri. Hasilnya adalah keadaaan batin yang tidak teguh. Pada seorang pemimpin seperti ini, misalnya mengandung arti bahkan ketika ia menyampaikan visi yang inspiratif, ia rentan untuk menutup telinganya terhadap kritik. Pemimpin pemimpin seperti ini bahkan menghindari umpan balik konstruktif, yang mereka pandang sebagai serangan. Kepekaan mereka yang luar biasa terhadap kritik dalam bentuk apapun juga berarti bahwa para pemimpin narsistik tidak mencari informasi secara luas; sebaliknya mereka secara selektif mencari data yang mendukung pandangan mereka, dengan mengabaikan fakta-fakta yang tidak konfrmatif. Mereka tidak mendengarkan namun lebih suka berkhutbah dan memberikan indoktrinasi.”

Apa ya kesimpulannya? Narsistik tidak sehat bahaya tuh, egois, anti kritik, diktator dan gila pujaan. Narsis bisa kita kendalikan dengan tetap mempunyai empati dengan orang lain serta memiliki malu dan merasa bersalah bisa melanggar etika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun