Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keluarga Penambal Ban yang Menambal Hatiku

5 Februari 2012   11:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:02 1729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_160536" align="alignleft" width="240" caption="Bang Sihotang sedang mengisi angin ban motor (dok. pribadi)"]

13284399291561831430
13284399291561831430
[/caption] Memang agak mengherankan, seorang tukang tambal ban yang butuh uang, sama sekali tak memperhitungkan keuntungan dalam kerjanya. Padahal bila kutaksir, harga ban dalam baru dan ban luar bekas setidaknya Rp. 75.000,- . Tapi Bang Sihotang tidak peduli berapa uang yang kuberi padanya. Dia menerima dengan wajah ceria.

Sejak itu, aku semakin akrab dengan Bang Sihotang dan istrinya. Logat medannya yang khas dan selorohnya yang lepas membawa pikiran yang penat menjadi rileks sejenak saat ngobrol dengannya. Tak hanya masalah ban luar dan menambak ban. Pernah juga aku butuh ban dalam mobil buat ban berenang anak-anakku, saat kuberi uang, Bang Sihotang berujar.

”Gak usah, bawa saja. Macam orang lain saja kau ini.”

Harus kuakui, aku mengagumi keluarga Bang Sihotang. Bang Sihotang dan istrinya dikenal sebagai tukang tambal yang kompak dan selalu melayani pelanggannya dengan penuh keceriaan. Bahkan mereka berdua masih bersedia melayani orang yang akan menambal ban motor malam hari ketika mereka tidur. Terkadang orang yang memakai jasanya hanya memberinya uang Rp. 5.000,-, padahal dia memaksa dengan menggedor-gedor pintu rumah petak pinggir jalan berukuran 2 x 5 m pada pukul 01.00.

Sejak itu, aku berusaha selalu membunyikan klakson bila melewati depan bengkelnya. Aku pun tak mau menambal ban di tempat lain bila ban motor bocor di daerah dengan rumahku.

Suatu ketika, ketika aku melewati depan bengkelnya, kulihat ada gantungan baju bayi yang penuh dengan baju mungil.

”Bayi?” Apakah si Kakak (istri Bang Sihotang) melahirkan?” Bisikku dalam hati.

Sepulang dari kampus aku pulang dan mengajak istriku ke bengkel Bang Sihotang. Benar, ternyata Istri Bang Sihotang melahirkan seorang bayi perempuam yang parasnya cantik.

”Siapa namanya, Kak? Aku memegang ubun-ubun bayi itu. ”Sekar, Bang.” Jawab Istri Bang Sihotang. ”Nama yang saya sukai, Kak. Ini Kak, titipan dari istriku, Cuma baju kecil buat sekar.” Bang Sihotang dan istrinya tersenyum ceria menerima sepasang baju dan celana bayi itu.

”Makasih, Bang!” Jawaban suami istri itu bersamaan.

Sekar berarti bunga Ya, bayi itu laksana bunga yang membuat mekar kehidupan sepasang kekasih yang memiliki hati yang lapang. Status dan kondisi keluarga yang terbatas tak membuat mereka kehilangan semangat keceriaan dan ketulusan menolong orang lain. Kini keluarga penambal ban itu semakin ceria karena Sekar tumbuh jadi anak yang sehat sampai di usianya yang hampir dua tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun