Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Healthy

(Kisah Nyata) Cahaya di Balik Sakit

29 Januari 2012   16:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:19 1899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajahnya tetap cerah meski tangan kiri dan kakinya tak bisa digerakkan. Tangan kananya masih terampil memencet keyboard laptop di pangkuannya. Sambil tersenyum dia menyambutku ramah. Dia adikku yang banyak memberiku inspirasi

“Wah, menulis apalagi nih, Dik” Aku menyapanya dengan sebuah pertanyaan.

“Ini, artikel tentang bagaimana membangun rumah sehat yang hijau, Bang”

“Wah, pasti banyak pepohonannya, ya, hehe?” Aku kagum padanya. Hanya dengan kursi roda dan tangan sebelah ia tetap berkarya. Aku juga mendengar dia mengerjakan pekerjaan menggambar desain rumah untuk pesanan sebuah konsultan perumahan. Ya, dia memang lulusan teknik arsitektur. Keterbatasan fisiknya karena penyakit kronis tak membuat cita-citanya menjadi arsitek kandas. Dia terus berkarya dan mengembangkan potensinya, meski sudah enam bulan lebih dirawat di rumah sakit

Enam bulan lalu, sehabis berjibaku menyelesaikan studinya di sebuah Universitas ternama di Sulawesi, ia terserang penyakit Thypus. Typhus membawanya dirawat di rumah sakit. Namun penyakitnya tak kunjung sembuh. Beberapa hari kemudian dokter memberi kabar yang mengagetkan bahwa Demam Berdarah (DBD) juga menambah deritanya.

Saat menjalani perawatan dari penyakit Thypus dan DBD, dia masih sangat ceria. Aku bisa membaca dari status di Facebook (FB) nya bahwa dia sangat tabah dan tetap bersemangat menjalani perawatan. Bahkan setiap hari.dia memberi semangat pada teman-temannya yang belum lulus agar jangan putus asa menyelesaikan studi. Kata-kata indah menghiasi status dan catatan-catata FB nya saat dia dirawat.

Dua bulan setelah dirawat, kemudian aku mendapat kabar bahwa adikku mengalami koma. Aku segera berangkat ke rumah sakit. Dokter kemudian memberitauku bahwa adikku mengalami radang otak. Ayahku juga mendapat penjelasan bahwa adikku juga keracunan obat. Kondisinya makin parah. Ia tidak sadar selama sepekan. Tubuhnya kaku. Kulihat hanya dadanya bergerak naik turun tanda ia mash bernapas.

Aku baru ingat, bahwa adikku pernah mengalami kecelakaan. Saat itu dia tidak merasakan kelainan pada kepalanya. Ternyata radang otak itulah yang membuatnya koma akibat dari kecelakaan dulu. Radang otak membuat bagian tubuhnya tidak berfungsi sempurna. Saraf-saraf pada kaki dan tangannya mengalami gangguan. Adikku harus menjalani hari-harinya dengan kursi roda. Dia sering merintih kesakitan sambil memegang kepalanya. Darah sering mengucur dari hidung dan telinganya. Aku sering tidak tega melihat penderitaannya.

Hanya kami sekeluarga yang tahu kondisi adikku ini. Banyak teman-teman adikku yang tidak tahu kalau dia masih di rumah sakit dan bertambah parah penyakitya. Teman-teannya hanya bertanya kenapa lama tidak update status.

Dokter dan perawat melarang kami tinggal sekamar menemani adikku. Adikku mengalami koma beberapa kali. Dia bahkan berpikir dirinya telah mati. Adikku pernah bercerita pada saat koma :

”Bang, aku seperti berada di dunia lain, seperti berada di lorong gelap, tapi masih mendengar semua percakapan orang-orang. Seperti di film-film itu, Bang.”

Aku bersyukur pada-Nya bahwa adikku masih bisa bertahan. Hari-harinya adalah inspirasi bagiku. Dia senantiasa tersenyum pada kami, keluarganya, saat kami menjenguknya. Bahkan hampir tiap hari dia menulis artikel. Dia juga sangat bersemangat menggambar arsitekstur. Seolah dia tak merasakan apa-apa dalam tubuhnya. Anggota badannya memang tak banyak bisa digunakan optimal, namun pikiran dan jiwanya terus bergelora memberi cahaya bagiku, keluarga dan orang lain.

”Cobaanku ini tak seberapa Bang. Lihat teman sekamarku. Gara-gara lumpuh dia ditinggal oleh calon suaminya. Sejak itu dia berusaha melupakan penderitaannya. Tiap hari dia berusaha kuat agar bisa berjalan. Satu kalimat dari dia yang membuatku termotivasi, Bang.”

“Apa itu dik?” Aku penasaran.

“Kita tidak selalu mendapatkan apa yg kita sukai, karena itu kita harus berusaha menyukai apapun yang kita dapatkan.”

Mataku berkaca-kaca. Tak kuasa aku membendung air jernih tumpah dari mataku. Adikku, sakitmu telah memberi cahaya padaku dan banyak orang.

****

Ini adalah kisah nyata dengan tokoh yang disamarkan. Setahun lalu penderitan radang otak itu sembuh dan saat ini sudah menikah dan memiliki seorang bayi mungil. Semoga menjadi pelajaran bagi yang sedang diuji Tuhan dengan sakit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun