Melihat kenyataan sangat terbatasnya Ruang Publik (public space) termasuk hutan kota di Medan, sungguhsangat meprihatinkan penulis. Ruang publik sebagai sarana mempersatukan warga dalam status yang sama masih merupakan mimpi. Yang terlihat, justru ruang publik yang ada tidak terawat dan faslitas yang dibangun banyak yang rusak oleh warga kota sendiri.
”Di ruang publik kita menemukan kesetaraan tanpa batas”. Semboyan ini dilontarkan oleh pemerintah Kota Bogota Kolombia yang berhasil memanusiakan warganya dengan membangun seluas mungkin ruang publik termasuk RTH. Miskin atau kaya, pejabat atau rakyat jelata, profesor atau tukang becak, di ruang publik semua menjadi sama. Kenyataan mengungkapkan demikian. Perbedaan Kaya-Miskin, sangat kasat mata saat masyarakat sedang menghabiskan waktu senggangnya. Si kaya bisa bersenang-senang di vila megah, klub elit dan sarapan pagi di restoran mewah, namun si miskin hanya bisa menonton TV atau menikmati ruang terbuka/pedestrian. Keberadaan hutan kota sebagai salah satu ruang publik merupakan salah satu solusi mengatasi problem interaksi sosial masyarakat kota.
Saya begitu merindukan keberadaan hutan kota seperti beberapa kampus yang ada di kota besar seperti UI di Depok, USU dan UNIMED di Medan, ITB di Bandung danini bisa dijumpai minimal di tiap kecamatan. Bagi hutan kota yang sudah ada, keberadaannnya harus dibuka untuk umum (public), tidak tertutup seperti istana. Selain terbuka untuk umum hutan kota ditingkatkan fungsinya selain sebagai kawasan hijau (nyaman secara lingkungan) juga memiliki aspek wisata, pendidikan lingkungan dan kesehatan atau olahraga.
”Mana lapangan bola nya?” Adalah sebuah ungkapan menarik yang penulis petik dari Film Naga Bonar 2. Bukankah lapangan bola merupakan areal publik yang umumnya dikelilingi oleh tanaman. Apa salahnya mendesain lapangan bola menjadi hutan kota tanpa mengurangi perannya sebagai lahan yang secara massal dapat mengumpulkan orang berolahraga. Justru dengan didesain sebagai hutan kota, lapangan bola dan lapangan olahraga lainnya akan memiliki nilai tambah bagi lingkungan dan sosial.
Penataan kota yang lebih manusiawi merupakan harapan besar sebagian warga kota Medan. Lahan kota sebagian merupakan hak warga kelas menengah ke bawah untuk menikmati interaksi sosial yang beradab. Lahan kota bukan milik mobil yang kursinya melompong. Tanah perkotaan bukanlah milik pemodal besar yang haus kekayaan dengan menggusur tempat bersantai warga dan menyulapnya menjadi mall dan perumahan mewah.
Maka bila kota-kota di Indonesia ingin mengurangi tingkat problem sosial seperti kriminalitas dan kerusakan moral, maka penataan kota yang menghargai hak manusia adalah pilihannya. Memperluas ruang publik termasuk hutan kota perlu realisasi bukan basa basi. Disamping itu, sangat diperlukan dukungan politis yang kuat dari lembaga legislatif dan peran aktif masyarakat memelopori dan merawat hutan kota.