Dulu, nenek moyang kita bercocok tanam dengan cara sederhana dan belum ada penemuan teknologi pertanian seperti zaman sekarang. Tapi, kenapa mereka bisa menjadikan negeri ini kaya raya, sehingga banyak bangsa lain tergoda menjajahnya? Ada yang salah dengan teknologi pertanian kita!
Ketergantungan pada penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia yang semakin mahal harganya menjadikan biaya produksi petani kian meningkat. Awalnya memang menggembirakan. Penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia menjadikan hasil panen petani berlipat ganda. Segalanya menjadi serba mudah untuk menyiasati kondisi alam yang tidak bersahabat dengan bantuan zat kimia tesebut.
Tetapi, kita tidak sadar bahwa zat kimia ibarat candu bagi kondisi tanah sebagai tempat tinggal tanaman. Sebagai contoh, pemberian dosis 1x untuk mendapatkan hasil panen 2x, pada jangka waktu tertentu akan menjadi pemberian dosis 2x untuk mendapatkan hasil panen 2x.
Karena apa? Zat kimia merusak struktur tanah. Tanah menjadi sakit, sudah tidak ada lagi mikroorganisme hidup di dalamnya yang sebenarnya sangat membantu mempertahankan keseimbangan struktur tanah secara alami.
Lalu, bagaimanakah solusinya? Back to organic. Mulailah mengendalikan penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia dengan cara bijaksana. Bila perlu, tinggalkan dan mulai menerapkan kembali pola bercocok tanam nenek moyang kita dahulu dengan teknologi kompos untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Untuk beberapa periode panen, tentunya petani harus siap. Karena, poduktivitas hasil pertanian akan turun karena proses pemulihan struktur tanah.
Memang betul bahwa dengan cara sederhana, pengolahan kotoran ternak sebagai bahan baku kompos memerlukan waktu 1 bulan sampai siap diberikan pada tanaman. Tidak salah bila budaya petani kita adalah budaya petani yang sangat memerlukan teknologi pertanian yang aplikatif dengan biaya terjangkau. Budaya ini yang akhirnya menjadikan pupuk dan obat-obatan kimia laris manis bak kacang goreng saat awal diterapkannya.
Alangkah baiknya bila ilmuwan dan peneliti kita terus tertantang untuk menemukan teknologi pertanian yang aplikatif dengan biaya terjangkau serta bersifat organik.
Hasil penemuan seorang doktor dari Balitro Bogor telah membantu petani untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian berupa teknologi bio triba yang sangat bermanfaat dalam pengolahan kompos organik.
Teknologi bio triba sangat membantu dalam proses penguraian limbah menjadi kompos melalui bantuan mikroorganisme secara terkendali. Mikroorganisme tersebut tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah, namun dapat pula mengendalikan patogen pada tanaman dengan Trichodherma dan Bacillus.
Hasil Penelitian pada Tanaman Jagung:
1. Tanpa kompos dan tanpa Bio Triba, produksinya 2,28 ton per ha
2. Kompos namun Tanpa Bio Triba, produksinya 5,04 ton per ha
3. Kompos dan Bio Triba, produksinya 5,58 ton per ha
Hasil Penelitian pada Tanaman Petsai:
1.Tanpa Kompos dan Tanpa Bio Triba Produksi 3,42 ton per ha
2.Kompos namun Tanpa Bio Triba Produksi 8,79 ton per ha
3. Kompos dan Bio Triba, produksinya 12,29 ton per ha
Harga Produk Pertanian Organik Lebih Tinggi
Berita menarik, pasar produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan produk non-organik di pasar konvensional. Rata-rata harganya sekitar 100–300 persen lebih mahal dibanding produk pertanian non-organik. Hal ini amatlah wajar. Produsen pertanian organik di dunia masih belum banyak.
Di negara tetangga kita Singapura misalnya, diperkirakan lebih dari 50 ribu konsumen membelanjakan US$ 5 juta untuk produk pertanian organik. Australia dan Selandia Baru merupakan pemasok rutin ke negara Singa tersebut. GNP (gross national product) Singapura yang mencapai USD 95,5 miliar telah menjadikan negeri ini sebagai pasar organik yang menjanjikan!
Kendala yang mungkin harus kita upayakan solusinya bilamana ingin membidik potensi ekspor produk pertanian organik tidak lain adalah mahalnya biaya sertifikasi. Seperti yang kita ketahui, mayoritas petani Indonesia adalah bermodal kecil dan berlahan sempit. Namun, hal ini tidaklah menjadi masalah bila petani dalam satu wilayah atau daerah dapat berkoordinasi untuk melakukan sertifikasi dengan membentuk kelompok tani.
Tentunya harus ada upaya kerjasama tidak hanya melibatkan koordinasi antarpetani. Peran Pemerintah dan sektor swasta amat dibutuhkan dalam hal ini, baik sebagai penyedia sumber permodalan maupun pembuka akses pasar.
Kombinasi usaha peternakan dan pertanian juga amat dianjurkan dalam melakukan budidaya pertanian organik. Ketersediaan bahan baku pupuk akan lebih mudah didapatkan dengan adanya produksi kotoran ternak yang kita pelihara.
Tidak hanya itu, daging hewan ternak dapat menjadi sumber penghasilan tambahan sebelum kita menunggu hasil panen pertanian organik dan menjadi petani organik Indonesia! Selamat mencoba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H