Momen yang sarat dengan hiruk pikuk politik seperti sekarang ini adalah tepat bagi kita untuk menghidupkan kembali kesadaran untuk menjadi warga negara yang baik. Hal tersebut tidak lepas dari kenyataan bahwa politik kerapkali menjerumuskan sebagian orang ke dalam perbuatan tercela (akhlaq madzmmah): permusuhan, adu domba, fitnah, dengki, riya', risywah (suap), bohong, dan lain sebagainya.
Islam bukan agama yang anti-politik. Bahkan, karena terkait dengan persoalan kepemimpinan, politik menjadi hal yang niscaya. Imam Al-Ghazali mengaitkan pentingnya pemimpin dengan kelestarian agama sebagai berikut:
"Kekuasaan dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama sebagai landasan dan kekuasaan sebagai pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki landasan pasti akan tumbang. Sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan." (Abu Hamid al-Ghazali, Ihy Ulumiddin, tt, Beirut: Darul Ma'rifah, Juz 1, h. 17)
Namun demikian, politik dalam Islam tak pernah menjadi tujuan akhir (ghyah). Melainkan waslah, perantara menuju tercapainya tujuan sebuah negara, yakni kemaslahatan bersama.Â
Negara tak hanya wajib memberi jaminan keamanan dan kebebasan bagi tiap orang untuk beribadah kepada Allah tapi juga mesti punya iktikad sungguh-sungguh menyejahterakan warganya serta menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Dengan bahasa lain, politik sesungguhnya merupakan sesuatu yang baik, atau paling tidak: netral. Hanya saja, ia nama baiknya sering ternoda karena tingkat sebagian elite politik yang tak mengindahkan etika yang digariskan syariat.Â
Dari sinilah, bencana moral lantas meluas ke masyarakat akibat provokasi, mobilisasi, dan politisasi setiap lini oleh kalangan politisi. Masyarakat pun kerap tergiring ke arah tindakan-tindakan yang tak selaras dengan nilai-nilai Islam.
Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,
Dalam konteks ini, paling tidak ada dua bahaya yang perlu diwaspadai saat musim pemilihan umum atau pergantian kekuasaan datang.
*Bahaya Pertama* adalah mengorbankan kepentingan bersama untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok secara terbatas.
Fanatisme dukungan yang diberikan kepada calon tertentu acapkali menyeret seseorang hanya berpikir pada lingkup yang sangat sempit. Pembelaan dilakukan secara mati-matian kepada calon yang didukung, sementara di sisi lain permusuhan dialamatkan secara berlebihan kepada lawan politiknya.Â