Mohon tunggu...
Achmad Ridwan Sholeh
Achmad Ridwan Sholeh Mohon Tunggu... Akuntan - Pegawai

Ayah dari Achmad Ibrahim

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"Orang Dalam", Sebuah Pola Pikir Peninggalan Era Kolonial

9 April 2020   14:00 Diperbarui: 9 April 2020   21:38 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilutrasi orang dalam. Sumber gambar : instagram@kertas.kindew

Mencari pekerjaan bagi setiap orang bukanlah perkara yang bisa dibilang mudah dan juga tidak bisa dibilang susah. Mencari pekerjaan ini urusan rejeki masing-masing, bisa mudah bisa pula susah

Banyak jalan menuju Roma, ungkapan tersebut sangat cocok bagi para pencari rejeki, semisal berdagang, bertani dan bekerja di sebuah institusi atau perusahaan. Bahkan dari tiga tersebut, di era milenial sudah terdiversifikasi sedemikian rupa dengan banyak jenisnya.

Ambil contoh berdagang, kegiatan perdagang ini sudah sangat luas sekali jenisnya, mulai dari dagang barang, hingga menawarkan jasa profesional. Jasa Akuntan Publik, Web Developer, Design Grafis, Percetakan dan banyak macamnya merupakan ranting dari kegiatan dagang. 

Bila belum yakin dengan kemampuan usaha sendiri atau minimnya modal baik dari segi uang ataupun kemampuan, bisa dimulai dengan berkarir di sebuah perusahaan atau institusi. 

Pentingnya bekerja di sebuah perusahaan adalah kita memiliki senior yang akan membantu mengasah kemampuan dan kita tak memerlukan modal besar.

Tapi saat ini persaingan dalam mencari pekerjaan sangatlah susah mengingat penduduk Indonesia yang jumlahnya sudah ratusan kerja dengan lapangan kerja yang terbatas. 

Enterpreuner atau pengusaha Indonesia jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding negara tetangga, Singapura. Ini salah satu faktor susah mencari pekerjaan di Indonesia.

Dulu di jaman penjajahan Belanda untuk bisa hidup dengan layak tentu harus ikut melayani Sang Menir. Lewat sang abdi dalem inilah konon, istri, saudara dan anaknya mendapati hidup lebih bebas dibandingkan dengan rakyat lainnya. Mudahnya akses baik ekonomi dan pendidikan juga didapat melalui orang dalam

Lewat kisah-kisah semacam itu muncullah istilah "orang dalam".  Akhirnya istilah orang dalam berlanjut ke era Soekarno, Orde Baru hingga Era milenial saat ini. 

Dari yang dulu hanya berputar di era pemerintahan kini sudah menjamur ke semua lini. Orang dalam ini bisa merusak tatanan pemerintahan atau perusahaan dari sisi kinerja

Istilah orang dalam bisa diartikan upaya memudahkan jalan melalui jalur nepotisme. Nepotisme disini adalah pola pikir yang lebih mementingkan saudara atau kerabat dekat, teman akrab berdasarkan hubungan dan tidak berdasarkan kemampuan profesional.

Contoh saja penerimaan pegawai di salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) favorit negeri ini, dimana istilah orang dalam masih sangat berlaku. 

Meskipun tidak secara keseluruhan dari penerimaan pegawai, tapi sedikit banyaknya ada orang dalam yang membantu segelintir peserta untuk lolos.

Bahkan dalam sesi wawancara ada pertanyaan, "Ada keluarga yang bekerja disini?". Pertanyaan semacam ini terkadang menjebak dan terkadang memang sudah ada dalam skenario HRD untuk memastikan bahwa seorang peserta adalah keluarga dari sang Bos Besar.

"Saya keponakan dari Pak Rudi (Direktur Keuangan)", ucap seorang peserta. Tentu mendengar jawaban seperti itu akan berpengaruh pada keputusan seorang HRD. 

Apalagi sudah ada istilah titipan dari manajernya untuk meloloskan keponakan Direktur, maka semakin dilemalah seorang HRD. Apakah dia akan bersikap profesional atau siap menanggung akibat dari tidak meloloskan karena ada peserta lain yang lebih baik.

Pada realitanya, HRD tersebut mayoritas akan meloloskan peserta titipan tersebut. Ini bukan menyangkut profesionalitas, ini sudah merupakan sistem yang telah terbentuk sejak lama atau tepatnya budaya.

Untuk swasta yang berstatus perusahaan keluarga ini lebih parah. Bisa saja setiap orang menjadi pegawai, tetapi ada garis yang tak bisa dilewati jika bukan dari keluarga pemilik usaha. Orang dalam sangat berkuasa karena pengaruh kepemilikan yang tanpa batas.

Kelas manajer atau bahkan sekelas supervisor semua diisi oleh keluarga, saudara, sepupu, cucu, cicit semua menempati posisi strategis dan orang luar hanya sebatas kacung di perusahaan tersebut. 

Bagi orang luar, masa depan karir di perusahaan semacam ini sangat suram dan sebaiknya memikirkan opsi yang lebih baik. Tak semua memang, tapi sebagian besar seperti begitu.

Sama halnya dengan melamar pekerjaan, dalam berdagang pun ada istilah orang dalam. Dalam persaingan dagang ini terlihat pada pengadaan barang dan jasa, baik di pemerintah maupun di perusahaan swasta.

Lelang pengadaan yang diharapkan mendapatkan barang dan harga terbaik nyatanya hanya melengkapi administrasi saja. Orang dalam sangat berpengaruh dalam memutuskan pemenang tender. 

Tak jarang pemenang tender yang berasal dari lemahnya pengawasan akan menghasilkan barang dan jasa yang buruk. Contohnya saja, jembatan hasil tender yang baru satu hari dibangun langsung ambruk. 

Ini salah satu contoh buruknya pengawasan lelang pengadaan barang dan jasa yang berakibat pada output. Dampaknya bisa membahayakan orang lain dan tentu merugikan rakyat yang telah membayar pajak. 

Beda kisahnya dengan penerimaan CPNS, dulu orang dalam mendapatkan jatah dalam meloloskan keluarganya untuk menjadi CPNS. Semua orang tahu cerita ini. Lain cerita orang dalam bisa diadakan dalam seleksi CPNS dengan membayar sejumlah uang.

Bila melihat honorer, tenaga kontrak dan sebagainya dalam pemerintahan (tidak semua), kebanyakan dari mereka ada orang dalam yang membawa. 

Bagaimana tidak?, pengumuman seleksinya saja sebagian besar tidak ada untuk honorer atau tenaga kontrak, tahu-tahu sudah ada saja orang baru di kantor dengan status tak jelas.

Sejak maraknya orang dalam, birokrasi penerimaan pegawai pemerintah sudah berbenah melalui seleksi online. Penerimaan CPNS baik dari honorer, tenaga kontrak dan umum semua disamaratakan dan berdasarkan kemampuan individu tersebut. 

Ini merupakan langkah terbesar pemerintah dalam memutus rantai KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) seleksi pegawai.

Di masa yang akan datang istilah orang dalam akan tergedrasi dengan sendirinya dengan kesadaran masyarakat akan profesionalitas. Kemampuan diri berperan penting dalam masing-masing individu dalam mengembangkan pribadinya. 

Perkembangan dunia usaha juga tidak akan memberi tempat bagi titipan-titipan yang kurang akan skill. Tentu pemilik usaha akan berpikir ulang dalam menempatkan orang yang tidak kompeten di bidangnya dan berakibat pada kinerja perusahaan.

Asah kemampuanmu dan raih cita-citamu, berhenti mengandalkan orang dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun