""Mampus Kau Dikoyak-koyak Sepi" sebuah sajak dari Chairil Anwar menggambarkan keadaan warga miskin di tengah pandemi Covid 19
Rupiah mencetak rekor terburuk terhadap dollar Amerika Serikat sepanjang sejarah negara ini berdiri. Nilai tukar Rupiah mencapai Rp. 16.800/USD. Â Kiamat kecil bagi perekonomian Indonesia dan warganya. Bahkan sekelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi ahli nujum dan meramalkan Rupiah akan terperosok hingga Rp. 20.000/USD
"Kemungkinan terburuknya, Rupiah bisa mencapai 20.000 per Dollar AS", ucap Menteri Sri Mulyani dalam video conference, Jakarta 01 April 2020.
Siapa yang terdampak pertama kali? Tentu saja devisa negara ini yang terkuras akibat hutang yang berlipat. Defisit APBN diperkirakan mencapai angka 3%. Setelahnya adalah perusahaan multinasional yang menggunakan dollar sebagai alat transaksi. Skenario paling buruk adalah si Miskin yang paling parah terkena imbas krisis.
Kilas balik krisis 2008, Indonesia hanya terkena anginnya saja, pusat gempa jauh berada di negeri Paman Sam. Penyebabnya pun berupa fraud (kecurangan) di bidang keuangan. Kebijakan perbankan yang hilang kontrol dalam pinjaman kredit perumahan (subprime mortgage). Hingga pada akhirnya terjadi kredit macet besar-besaran dan merobohkan sistem keuangan Amerika.
Sudah jadi rahasia umum, apabila Amerika batuk negara lain yang opname. Negara-negara maju di Eropa terseret arus Amerika, akibat likuiditas perbankan yang collapse. Pengangguran berserakan di benua biru mencapai 60% dari seluruh usia produktif. Cina, Rusia dan negara yang memiliki komoditas ekspor tinggi hanya ternganga melihat hilangnya permintaan.
Krisis ekonomi 2008 Indonesia masih mampu bertahan ditopang oleh banyaknya UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) sebagai penyangga perekonomian. Sebagaimana pula saat krisis 1998 UMKM menjadi pahlawan di tengah hancurnya rupiah. Hebatnya lagi, UMKM merupakan bukanlah kasta terbaik negeri ini, mereka di dominasi kelas bawah.
Alasan UMKM tidak terpengaruh pada krisis 2008 dikarenakan menyasar langsung kebutuhan dasar. UMKM juga kuat karena tidak bertransaksi dengan dollar dan minimnya pinjaman perbankan. Paska krisis 2008 baik Amerika maupun Eropa belajar dari pengalaman dan mulai memperbaiki sektor UMKM mereka.Â
Krisis tahun 2020 sangat berbeda dari krisis sebelum-sebelumnya. Semua sektor di seluruh dunia terdampak krisis finansial, terlebih kali ini UMKM lah yang paling hancur. Pondasi paling bawah perekonomian dalam negeri ini bukannya sedang diuji tetapi sudah terperosok ke lembah hitam.
Mayoritas UMKM yang didominasi warga menengah bawah terkena dampak paling parah dari Pandemi Covid 19. Kebijakan WFH (Work From Home) dan slogan "Di rumah saja" membuat si miskin kehilangan pekerjaan dan pendapatan mereka. Kesulitan warga miskin terlihat nyata di kota-kota besar. Ketatnya kebijakan karantina diri di zona merah membuat perkotaan menjadi sepi.Â
Contoh saja usaha mikro, pedagang kecil, kaki lima kehilangan pembeli di kota yang seperti terkena dampak Chernobyl. Ojek online kehilangan 70% penghasilannya dan supir taksi menangis di parkiran bandara disebabkan minimnya pengguna jasa mereka. Siapa yang mau naik pesawat atau berpergian dalam kondisi seperti ini?
Satu level lebih tinggi, yakni usaha kecil dan menengah kehilangan pendapatan secara signifikan. Siapa yang jadi korban dari usaha kecil dan menengah? Siapa lagi kalau bukan pegawainya. Perusahaan akan memutar otak untuk menyiasati berkurangnya pendapatan dengan mengurangi beban gaji pegawai, yakni dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Dalam sektor perbankan kegaduhan mulai mewarnai pinjaman kredit. Ketidakjelasan pidato presiden tentang penundaan kredit membuat masyarakat menuntut pihak bank. Pihak bank jelas menolak karena hanya berupa pernyataan, tanpa ada penjelasan teknis. Hingga ada nya penjelasan dari Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman
"Sasaran utama penerima POJK adalah individu yang telah positif Covid 19, baik yang telah isolasi di rumah sakit dan yang melakukan isolasi mandiri", ucap juru bicara presiden Fadjroel di Istana Kepresiden. Banyak yang kecewa atas penjelasan ini tentunya dan mereka hanya mampu sambat.
Lambatnya pemerintah direspon oleh sebagian masyarakat yang mulai bergerak. Para Influencer mengadakan kegiatan amal menggalang donasi untuk membantu meringankan beban rakyat. Penggalangan donasi amal juga membantu masyarakat ditengah penantian kebijakan pemerintah yang diharapakan akan lebih baik.
Apa yang seperti ini yang diharapkan korban-korban melambatnya perekonomian? Tentu tidak 100% salah dan tidak pula benar. Karena bantuan para Influencer ini ada batasnya, seperti Raja Sulaiman yang hendak menanggung makanan seluruh makhluk, tetapi hanya seekor paus saja dia sudah menyerah.
Pengganguran, hilangnya pendapatan, keluarga yang butuh makan, cicilan rumah, cicilan kendaraan merupakan kata-kata yang akan menghantui dalam beberapa bulan ke depan. Warga yang kehilangan harapan hidup di kota besar mulai beranjak untuk pulang ke kampung halaman. Tentu pilihan kembali ke kampung halaman bukanlah opsi yang tepat saat ini
Tetapi bukannya  menyelesaikan masalah, para pemudik ini justru akan menyebabkan masalah baru. Pemudik yang berasal dari zona merah secara tidak langsung menyebarkan Covid 19 dan membuat penyelesaian wabah semakin lama dan meluas ke daerah. Dampaknya akan terjadi kekacauan akibat naiknya harga dan berkurangnya daya beli. Stabilitas keuangan semakin parah dan kita tidak berharap rupiah menjadi kertas toilet seperti mata uang Zimbabwe.
Para OKB (Orang Kaya Baru) disibukkan urusan tiktokan  upaya membunuh waktu menunggu wabah selesai. Bahkan dalam urusan membuat video tak jelas itupun uang mengalir ke saku mereka. Dari rumah pun mereka sudah terfasilitasi dengan kemudahan-kemudahan. Rekening tabungan yang menggunung membuat para OKB santai saja di rumah.
Kondisi yang berkebalikan, si Miskin harus menahan lapar bersama anak dan istrinya. Bahkan seorang supir ojol dan anaknya hanya makan satu kali satu hari. Sang bapak mekat menantang maut dengan keluar rumah agar tak ada yang harus dihapus dari KK (Kartu Keluarga). Pilihan dirumah saja merupakan pilihan terburuk di tengah minimnya dukungan pemerintah.
Pada ujungnya krisis model apapun, si miskin yang akan terkena dampak paling parah. Warga miskin ini bila diumpakan sudah "hancur terkoyak-koyak sepi"-nya perkotaan dan kebijakan akibat Covid 19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H