Kembali kepersoalan saling curiga, ini merupakan hal wajar di lingkungan kita saat ini. Tapi hendaknya sifat saling curiga perlu diminimalisasi dan tak perlu dilebih-lebihkan.
Memiliki pikiran positif sangat diperlukan agar tidak berlaku paranoid. Pikiran positif akan mendukung tubuh untuk memberikan daya tahan yang lebih baik.Â
Selain sifat curigaan, masyarakat kita itu latah. latah pada apa saja yang menurut mereka lagi viral di media.
"Pah tetangga sudah beli masker 5 box, kita beli juga ya persiapan," curhatan seorang istri.
Akhirnya suami beli masker tidak kalah banyak dari si tetangga. Habislah masker di peredaran, dan terdongkraklah harga yang membuat geleng-geleng kepala.
"Daripada beli masker Rp. 300.000 mending buat bayar BPJS buat 1 KK," kata si Udin warga kelas III dalam hieraki keraton BPJS.
"Pah, besok temenin mama belanja kebutuhan rumah satu tahun. Persiapan kalau lockdown nih."
Akhirnya banyak orang-orang mampu, menimbun kebutuhan pokok. Rakyat kelas UMR (Upah Minimal Regional) hanya bisa gigit jari. Persediaan bahan pangan sulit, dan tentu ujung-ujungnya harga terkerek bak bendera Merah Putih. Tambah susahlah si Budi kecil berjualan di Tugu Pancoran.
Sifat semacam ini bukanlah budaya bangsa yang perlu dipupuk dan dipelihara. Baik saling curiga maupun latah ataupun panik, tidak dapat menyelesaikan wabah. Bukannya memberikan solusi malah saling menghabisi dalam diam.
Si miskin tambah sulit di tengah wabah dan si kaya menikmati penghidupan dari slogan, "kamu di rumah aja, biar kami yang bla bla bla".
Pemerintah juga melarang kegiatan menimbun barang-barang yang dibutuhkan di tengah wabah. Langkah-langkah penindakan telah dilakukan, tapi apa daya itu semua terlambat. Barang terlanjur lenyap di pasar lokal dan hanya ada di dunia maya.