Mohon tunggu...
Achmad Rafsanjani
Achmad Rafsanjani Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi People Development. Belajar Menulis, Psikologi Sosial Politik. Penikmat Buku, Film dan Sepakbola.

Consume Less. Share More. Live Simply. What we do in life. Echoes in eternity. #Seperti yang dikatakan oleh Peter Ustinov dalam Aftertaste (1958), sedikit orang berhenti menjadi manusia, dan mulai menjadi gagasan, kemudian menjadi monumen, sampai akhirnya menjadi aftertaste: bukti kejayaan masa lalu yang menyisakan rasa tertentu di kepala-kepala generasi saat ini#

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perempuan dalam Loteng

25 Oktober 2019   18:44 Diperbarui: 29 Oktober 2019   18:56 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polarisasi terhadap ide-ide patriakal juga dinyatakan dengan jelas oleh Mary Wollstonecraft, dalam A Vindication of the Rights of Women (1792). Buku Mary merupakan salah satu pernyataan feminis paling awal di Inggris, dimana ideal Pencerahan dalam buku itu mengenai 'hak-hak yang sama' tetap bertahan hingga sekarang. Ide provokatif mengenai feminisme selanjutnya datang dari John Stuart Mill dalam esainya The Subjection of Women (1869).

Setelah mengalami moratorium selama perang dunia, feminisme kembali menjadi bagian dari agenda pemikiran posmodernitas. Gerakan feminisme baru dan radikal ini bukan sekedar menganalisa subordinasi perempuan, tapi juga relasi eksploitatif atas perempuan.

Buku penting feminisme radikal ini antara lain adalah The Second Sex (1949) oleh Simone de Beauvoir, The Feminine Mystique (1963) karya Betty Friedan, buku Germain Greer dengan judul The Female Eunuch (1971), Faces of Feminism (1981) milik Olive Banks, hingga karya mencerahkan dari Mary Mellor, Breaking the Boundaries: Towards a Feminist Green Socialism (1992).

Pada negara-negara dunia ketiga, feminisme dikaitkan dengan hibrida poskolonial. Dimana perempuan dunia ketiga telah menanggung beban penindasan ganda: dari bangsa kolonial dan dari kaum lelaki pribumi.

Poskolonialisme mempostulatkan perempuan di dunia ketiga sebagai korban par excellence, korban dari ideologi imperial dan patriarki pribumi. Perempuan dunia ketiga adalah subaltern gendered, kelas-kelas inferior yang tertindas. Termasuk di Indonesia, dengan potret yang paling sering disebut, RA Kartini.

Sama seperti visi feminis di belahan dunia lain, Chandra Talpade Mohanty dalam esai Under Western Eyes: Feminist Scholarship & Colonial Discourses (1994), melihat bahwa upaya-upaya desakralisasi subordinasi perempuan di negara dunia ketiga adalah proses berganda dalam 'mengeluarkan perempuan (lain) dari loteng, mengeluarkan perempuan dari ruang gelap tersebut'.

Bagaimanapun, perkembangan literasi feminisme dalam etika Gramscian, merupakan bagian dari counter-hegemony terhadap ide-ide maskulinitas yang mendominasi dunia material dan simbolis masyarakat di seluruh dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun