Kita perlu bersepakat terlebih dahulu bahwa kesucian tidak hanya berlaku untuk badan, fisik, atau jasmani. Dimensi kesucian pada lingkup yang luas bisa menyentuh suci pikiran, suci perasaan, suci perbuatan, suci perkataan dan seterusnya.
Kesucian dengan demikian tidak sebatas suci menurut perspektif fikih. Kita perlu melebarkan sudut pandang sehingga memiliki keluasan sekaligus kedalaman memaknai substansi kesucian. Termasuk bagaimana kita mengucapkan "kesucian" dalam konteks Idul Fitri yang sering diartikan kembali ke kesucian.
Kesucian tidak berdiri sendiri atau terlepas dari konteks yang dialami seseorang. Suci menurut perspektif fikih ditemukan dalam kondisi orang yang sedang tidak menanggung hadast besar atau hadast kecil. Kesucian juga dapat dilekatkan pada kondisi pakaian yang tidak terkena najis.
Manusia berbeda dengan malaikat dan iblis yang dijadikan Tuhan sebagai "makhluk kepastian". Malaikat pasti taat dan patut kepada Tuhan. Iblis pasti membangkan perintah-Nya. Manusia disebut "makhluk kemungkinan" karena ia bisa berada dalam salah satu kondisi: suci atau hadast. Demikian pula harta kekayaan: ia bisa diperoleh melalui cara yang halal atau haram. Manusia memiliki kemungkinan patuh seperti malaikat atau membangkang seperti iblis.
Kita dapat menghitung berapa persen harta yang kita peroleh melalui cara yang halal, berapa persen yang didapat melalui kesepakatan di bawah meja, berapa persen percampuran antara keduanya. Apakah baju yang kita pakai bukan hanya suci dari najis, melainkan juga kita beli dengan uang yang halal? Apakah sandal, sepatu, celana, motor, mobil, hingga sesuap nasi yang masuk ke tenggorokan terjamin kesuciannya?
Apabila ada satu butir nasi yang semestinya ditelan oleh tenggorokan tetangga kita yang miskin justru masuk ke dalam perut kita, maka dalam perspektif "fikih thaharah" perut kita berisi sebutir nasi yang najis. Atau dalam kaca mata "hukum perbuatan" perut kita berisi tumpukan makanan yang haram. Atau dalam kaca mata budaya perut kita menjadi gudang yang berisi kotoran korupsi.
Jadi, idul fitri adalah upaya terus menerus mengolah diri untuk mengupayakan kesucian pada setiap dimensi hidup: suci badan, suci pakaian, suci harta, suci pikiran, suci perasaan hingga suci perkataan dan perbuatan.
Kesucian adalah puncak dari berlakunya kebenaran, kebaikan, dan kebijaksanaan. Artinya, perbuatan yang tidak suci dikerjakan melalui kombinasi antara kesalahan, keburukan, dan ketiadaan sikap bijaksana. Simulasinya bermacam-macam: perbuatannya benar (tidak menyalahi hukum), tapi buruk (karena tidak beretika), dan tidak bijaksana (karena melukai martabat kemanusiaan).
Seorang pejabat pamer tas seharga ratusan juta rupiah yang dibelinya dengan harta yang halal memang tidak salah. Namun, pamer harta itu tidak baik dan tidak bijaksana ketika rakyat nyungsep akibat infrastruktur jalan yang rusak parah.
Sebagai "makhluk kemungkinan" kesucian bagi manusia adalah cakrawala. Ia bukan garis finis apalagi identitas kelompok yang digunakan untuk membranding kepentingan kelompoknya sehingga kelompok yang lain terstigma sebagai tidak suci alias makar alias kafir.