Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Manusia dalam Keranda

27 Januari 2023   20:48 Diperbarui: 27 Januari 2023   21:08 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin sore mengantarkan suara adzan yang bergetar dari seberang desa, menembus kabut mendung yang dingin. Gerimis yang malu-malu membasahi daun seperti menahan diri agar tidak menjadi hujan yang melebat.

Tak urung hujan air mata mengalir juga sejak kabar duka menyentak perasaan setiap orang yang mencintainya.

Kaki-kaki yang berdiri menanti kedatangan harum wangi keranda seolah menancap di perut bumi. Kaku tak bergerak. 

Sedangkan gerimis masih malu-malu menyaksikan kilatan cahaya yang turun berduyun-duyun dari langit seperti serombongan malaikat berjubah putih-putih.

Sore yang redup kini terang gemilang oleh cahaya yang memantul ke langit lantas cahaya itu menyiram angkasa, menyiram cakrawala, menyiram sanubari setiap orang yang mencintainya, menyiram tanah galian yang lebarnya sepetak badan manusia.

Adzan asar baru saja selesai ketika keranda bertabur aroma wangi bunga-bunga menyergap isi perasaan yang ingin sekali berkata-kata, mengucapkan salam perpisahan, menyampaikan sambutan kesaksian, namun begitu tercekat tenggorokan setiap orang sehingga tidak satu pun kata terucap kecuali perasaan yang bergumul-gumul menyesakkan dada.

Ruang masjid yang biasanya terasa lapang dan lengang kini dipadati orang-orang yang mencintainya sehingga setiap orang rela berdiri berhimpitan seraya mengucapkan takbir, membaca doa-doa, mengamini untaian kebaikan. 

Suaranya bergema, bergemuruh, menjelma jutaan roh yang melayang-layang bagai asap putih meliuk-liuk mengelilingi keranda beraroma wangi bunga-bunga.

Siapakah manusia dalam keranda yang kehadirannya dalam kematian disambut berlaksa-laksa cahaya, dihadiri roh leluhur, diangkut doa-doa bagaikan asap putih yang menari-nari dalam satu irama tilawah yang menggetarkan sukma?

Siapakah manusia dalam keranda yang kematiannya justru mengabarkan kehidupan yang sesungguhnya, bukan kehidupan yang bergelimang kepalsuan, kelicikan, keculasan, kecurangan?

Siapakah manusia dalam keranda yang semasa hidupnya justru menempuh jalan kematian sehingga nafsu dan ambisinya terbebas dari keinginan menonjolkan diri?

 Jalan hidup kematian yang kontras dengan hiruk-pikuk ketenaran, gegap-gempita persaingan, genderang perebutan kekuasaan. Hidupnya yang sepi dan sungguh terasa sepi bagi mereka yang terbiasa memfitnah atau difitnah, menikam atau ditikam, membunuh atau dibunuh.

Siapakah manusia dalam keranda itu? Aku hanya terbata-bata mengucapkan, "Selamat jalan, Guru."

Mentoro, Jumat legi. 01.2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun