Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bencana (Kok) Alam dan Egoisme Manusia

31 Desember 2022   13:51 Diperbarui: 31 Desember 2022   14:15 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: (AP PHOTO/JAY LABRA) (KOMPAS.COM)

Kalau kita peka lalu niteni tanda-tanda atau gejala alam, minimal kita akan memperoleh informasi lebih awal mengenai "perilaku" mereka. Kalau kita konsisten niteni selama jangka waktu tertentu, kita akan menemukan "rumus" atau "dalil" pola "perilaku" mereka.

Tanda-tanda perilaku alam kadang hadir secara sederhana. Ia tidak selalu berkaitan dengan gejala alamiah hidrometeorolgi yang kompleks. Perilaku alam juga tampak dari perilaku manusia karena ada hubungan timbal balik antar keduanya.

Beberapa minggu terakhir kita disuguhi video pendek yang ingin menjelaskan informasi dari "Badan Meteros...Metosorolog...Mestrosolo...dan...Geosorol...". Unggahan itu dimodifikasi dan diunggah hingga entah berapa kali. 

Apakah ucapan yang kepleset-pleset itu merupakan kebetulan semata di tengah cuaca---yang katanya ekstrem dan tidak menentu ini?

Kalau Bapak terpeleset mengucapkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kita pun mengalami hal yang sama. Kita kepleset-pleset membaca perilaku angin, hujan, banjir, tanah longsor. Kita gagap---kalau tidak ingin disebut gagal---memahami gejala dan perilaku alam. Keterpelesetan itu pada akhirnya mengemuka melalui hasil pembacaan BMKG vs BRIN.

Beberapa tahun lalu, zaman kampung saya kerap dikepung banjir akibat air sungai yang meluap, saya memiliki "alarm" yang mengirim sinyal bahwa malam itu air akan datang. Rasa subjektif yang menjadi alarm semakin terasah karena setiap tahun pada bulan Desember sampai Januari, kampung saya minimal tiga kali kena banjir.

Subjektivitas itu tentu tidak didukung data-data akademis yang valid. Namun, usaha niteni gerak-gerik air di sungai ditambah informasi bahwa terjadi udan kidul---maksudnya di wilayah Jombang bagian selatan hujan sangat deras---menjadi bahan informasi untuk menyambut datangnya air di kampung saya.

Bahkan saking antisipatifnya, teman-teman bermain waktu itu rela kerja lembur membuat gethek. Esok pagi ketika banjir benar-benar datang kami naik gethek bertamasya keliling kampung.

Waktu itu informasi dari Badan Metreos... Mestrogologi...Meterosologi...halaah, belum seterbuka dan semudah sekarang untuk mengaksesnya. Sebagai gantinya ilmu titen dari kakek nenek kami, misalnya mulai bulan "mber-mberan": SepteMBER, OktoBER, NoveMBER, DeseMBER, memandu warga kampung melakukan bersih-bersih desa, menyambut datangnya musim hujan.

Ilmu titen tersebut tidak dalam rangka menyatakan bahwa hujan dan banjir pasti datang. "Gak ilok ndisiki kerso!" kata orang Jawa. Kita hanya dapat menyatakan, "Mungkin akan hujan, mungkin akan banjir, mungkin akan terjadi longsor," dan seterusnya.

Asumsi dasar "kemungkinan" ini menjadi ruang bagi segala peristiwa alam yang tidak dapat dihitung jumlah simulasinya di mana variabel dan komponennya sering luput dari perhitungan. Ruang tersebut juga menyodorkan kerendahan hati bahwa alam semesta adalah saudara tua manusia.

Melalui sudut pandang itu kita menyadari bahwa kepleset membaca gejala alam merupakan kesembronoan saat berinteraksi dengan sesama makhluk Tuhan. Kesembronoan inilah yang "menuduh" alam menjadi penyebab bencana.

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Egosentrisme manusia menjadikan alam sebagai objek eksploitasi, bukan menempatkannya sebagai "sejawat" yang berdialektika secara sejajar.

Ketika hutan digunduli lalu mengirimkan banjir bandang, kita menyebutnya bencana alam. Padahal air, hujan, tanah, batu tengah menjalankan hukum dari Tuhan. Mereka patuh pada dalil yang kita semua tahu sejak sekolah dasar bahwa air mengalir dari dataran tinggi menuju dataran rendah.

Disebut bencana alam karena akibat yang ditimbulkan mengganggu egoisme kepentingan manusia, tanpa merasa perlu mendalami hulu hilir penyebab peristiwa itu. Kita mengutuk air yang meluber di jalan raya karena mengganggu pekerjaan kita, merusak mesin mobil dan motor kita, mengotori lantai rumah kita.

Kita diam-diam menyayangkan---kata ini dipilih untuk mengaburkan sikap menyalahkan---mengapa ada cuaca ekstrem. Lha iya, cuaca kok ekstrem. Ekstrem adalah pilihan budaya bahasa versi manusia karena alam bertingkah tidak wajar, dan hal itu mengganggu acara liburan, merusak properti pesta, membatalkan rencana perayaan Tahun Baru.

Kalau tidak percaya silakan bertanya pada Badan Mestrelogo, Metrolos, Meterolos. Halaah...[]

Jagalan, 31 Desember 2022

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun