Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Antara Ilmu, Ngelmu, dan Sikap Bijaksana

29 Desember 2022   21:05 Diperbarui: 29 Desember 2022   22:37 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: (PIXABAY.COM)

 

Beberapa hari terakhir saya terlibat diskusi bersama seorang kawan tentang pitutur Jawa: ngelmu kelakone kanti laku. Awalnya topik ilmu dan ngelmu tidak menjadi fokus perbincangan kami. 

Diskusi dilatari kegundahan kawan saya perihal tradisi berpikir akademis yang melacak cakrawala ilmu melalui pijakan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Menurutnya, memahami ilmu seseorang tidak harus berpijak pada empirisme atau epistemologi filosofis.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Saya pun nyletuk, "Kita memahami atau mungkin memiliki spesialisasi pada bidang ilmu tertentu. Namun, apakah ilmu tersebut menuntun langkah hidup kita? Jangan-jangan kita belum ngelmu?" 

Celetukan itu membawa diskusi kami bergeser menuju pitutur Jawa.

Pitutur itu tertulis dalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV, raja Surakarta. Kalimat lengkapnya adalah Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara. Artinya, ngelmu iku (mencari ilmu itu) kelakone (tercapainya) kanthi laku (melalui proses atau perjalanan lahir dan batin).

Iman Budhi Santosa dalam buku Nasihat-nasihat Hidup Orang Jawa menyatakan ngelmu berbeda dengan ilmu. "Ngelmu adalah ajaran batin untuk bekal hidup di dunia dan akhirat," ungkapnya. Laku atau proses perjalanan lahir batin ditempuh dengan jalan memperkuat karakter positif, berbudi pekerti yang baik, dan menjauhkan diri dari perbuatan angkara.

Tampak jelas di sini, dalam pandangan manusia Jawa, ngelmu diproses melalui olah batin, olah pikir, olah mental, olah laku. Dilihat dari perspektif ini: epistemologi, empirisme, rasionalisme, serta metodologi yang diterapkan ilmu modern menjadi tampak terlalu sederhana.

Ngelmu bukan sekadar memelajari, mengkaji, meneliti bidang kajian tertentu. Ilmu diperoleh dengan cara nglakoni, mengamalkannya dalam hidup sehari-hari. Tidak seketika seseorang dapat memahami apa yang dipelajarinya. 

Namun, ketika ia mengajarkan ilmu yang dimilikinya sebagai bagian dari proses ngelmu, maka Tuhan akan memberinya pengertian-pengertian baru yang sebelumnya tidak dipahami.

Dalam laku ngelmu tradisi Jawa juga mengajarkan puasa, tirakat, menahan diri dari rakus terhadap makanan dan minuman, menghindari perbuatan tercela. Semua itu merupakan upaya penjernihan batin agar compatible, bukan saja dengan "material" keilmuan yang dipelajarinya, tetapi juga sejalan dengan "nilai-nilai" yang dikandung ilmu.

Apa implikasi dari pandangan ngelmu tersebut? Belajar dan mengajar bukan sebatas aktivitas kognitif memahami pengertian, definisi, atau terminologi. Ilmu adalah nur (cahaya) yang menerangi alam batin manusia. Ia juga berimplikasi pada tataran etis dan praktis perilaku seseorang.

Dalam proses ngelmu seseorang seyogianya menjaga kebersihan batin dan keadaban perilakunya. Imam Syafi'i menuturkan nasihat kepada muridnya, "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang melakukan maksiat." 

Nasihat itu sejalan dengan pitutur Jawa. Keluhuran budi bukan sekadar menjadi outcome bagi pencari ilmu---ia adalah nilai-nilai kebaikan itu sendiri yang diamalkan sejak dalam proses pencarian.

Output dari ngelmu adalah menemukan ke-benar-an sekaligus ke-pener-an. Manusia tidak cukup melakukan tindakan secara benar tetapi juga harus pener. Tindakan yang benar belum tentu pener. Benar dan pener memiliki dimensi pertimbangan yang berbeda. Benar dicapai melalu disiplin metodologis, sedangkan pener dipedomani oleh rasa kemanusiaan.

Simulasi sederhana tentang benar dan pener dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari hingga di dunia maya. Ketika kita mendapati anak kecil membuang sampah sembarangan, memberinya nasihat dan contoh di mana sampah dibuang adalah tindakan yang benar. Namun, tindakan itu harus disertai rasa kemanusiaan---bahasa Jawanya ngajeni---misalnya, memberinya nasihat dengan bahasa yang santun, sehingga anak kecil itu tidak merasa tersinggung.

Ketika seseorang menyampaikan kebenaran ilmu ia memerlukan kendali hikmah. Memilih perbuatan terbaik saat menyampaikan kebenaran merupakan perwujudan dari sikap bijaksana (hikmah). Hakim adalah orang yang memiliki akurasi tindakan secara pener. 

Kebenaran ilmu dikendalikan oleh kebijaksanaan atau hikmah. Fakta empiris yang ditangkap sebagai kebenaran tidak harus dikemukakan jika hal itu menyinggung harga diri kemanusiaan seseorang. Pengendalian diri ini merupakan bentuk dari sikap bijaksana. Manusia Jawa menyebutnya pener.

Pada lingkup kehidupan sosial yang lebih luas, kebenaran kadang tidak harus diucapkan: cukup disimpan, dikendalikan dalam diri masing-masing. Setiap orang memiliki versi kebenarannya sendiri. Kalau kebenaran tidak dikendalikan oleh sikap bijaksana, yang terjadi adalah benturan antar versi kebenaran. Orang saling mempertengkarkan kebenaran menurut versinya masing-masing.

Yang dikeluarkan, dikomunikasikan, dan disuguhkan dalam hubungan sosial adalah kebijaksanaan: sikap saling menjunjung martabat dan menghormati harga diri kemanusiaan.[]

Jagalan, 29 Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun