Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengalirkan Mukjizat Tuhan

25 Desember 2022   15:20 Diperbarui: 25 Desember 2022   15:26 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Ilustrasi para penganut Animisme(Twitter/@WiseArtSofiaJS) (kompas.com)

Apakah menjalani hidup sedemikian sulit dan rumit sehingga untuk sekadar menjadi manusia yang baik kita harus berhadapan dengan beragam rintangan, stigma, dan sejumlah kecurigaan? Apakah ini bukan ironi ketika quote, panduan, tutorial, kalimat bijak berhamburan setiap hari di layar HP?

Diam-diam isi pikiran kita dipadati pengertian, definisi, anjuran yang "menjerumuskan" kita pada situasi idealisasi "seharusnya". Idealnya hidup harus dijalani seperti ini dan itu. Antara kenyataan yang dialami dengan pikiran "seharusnya" terbentang jarak yang sangat jauh.

Alih-alih menemukan keseimbangan hidup apalagi ketenangan dan kebahagiaan, kalimat bijak, nasihat ustadz, wejangan manusia mulia justru menjadi beban pikiran. Hidup jadi tidak bernilai sama sekali.

Begini salah, begitu salah. Tidak begini salah, tidak begitu juga salah. Kebenaran menjadi barang mewah yang berada di genggaman orang-orang salih, mulia, hebat, dan kaya. Salah-benar, baik-buruk, sukses-gagal distandarkan tidak terutama atas penemuan autentik individual setiap orang, melainkan berdasarkan otoritas dominan pihak lain.

Celakanya, pihak lain itu bukan diri kita. Pikiran mereka bukan pikiran kita. Standar mereka bukan standar kita. Atas semua hal yang bukan kita, kita malah menjadikannya acuan dan standar. Tentu saja hidup makin berat dijalani.

Sesungguhnya terbentang seribu jalan bagi setiap seribu manusia menjalani hidup yang positif. Setiap manusia memiliki kemerdekaan menemukan versi jalan hidupnya. Setiap versi tidak perlu saling mendominasi, mengalahkan, apalagi menyalahkan versi lainnya. 

Yang berangkat ke Jakarta memilih naik kereta api silakan. Yang naik bus antar kota monggo. Yang bawa kendaraan pribadi oke-oke saja. Mau jalan kaki ya terserah.

Klaim kebenaran yang kerap menjadi polemik dan bahan pertengkaran bukanlah tentang substansi kebenaran itu sendiri, melainkan eker-ekeran versi sudut pandang melihat kebenaran.

Hidup manusia semakin ruwet bukan hanya disebabkan pertengkaran sudut pandang antarversi. Versi-versi itu lantas dilembagakan, dipadatkan, lalu dipecah menjadi versi-versi yang lebih kecil dan sempit. Alangkah sumpek jadinya hidup ini---hidup dalam kotak-kotak yang pengap. Manusia hidup dalam penjara versi sekat-sekat yang disuntikkan oleh otoritas dominan.

Kalau dalam tradisi filsafat Jawa dikenal benere dhewe, maka "dhewe" dalam konteks pembicaraan ini adalah kotak, sekat, firqoh yang mengalami pemadatan dan dipecah-pecah menjadi sub-sub-sub lebih kecil. Dhewe adalah egoisme golongan yang memadat.

Manusia tidak cukup merasa terikat oleh satu rasa kemanusiaan yang setara. Ikatan kemanusiaan ini justru (sengaja) dikendorkan akibat kuatnya ikatan benere dhewe. Kalau ikatan humanisasi memiliki kecenderungan membebaskan manusia dari penindasan, ikatan benere dhewe justru mencekik leher manusia melalui tali otoritas yang menindas.

Pertanyaannya, bagaimana menjalani hidup secara positif di tengah konteks situasi di atas? Momentum memilih jalan hidup positif hadir kapan saja di mana saja. Ia tidak memerlukan formula baku dan rumus kaku. Ia bahkan bersifat sangat subjektif: momentum itu dapat bermakna seseorang lahir kembali bersama cara, sikap, dan sudut pandang yang baru.

Subjektif maksudnya kelahiran baru itu merupakan proses ngelmu atau laku personal yang autentik. Ia hasil dari proses pembelajaran, permenungan, pengendapan, penghikmahan atas pengalaman hidup. Sesederhana apa pun hasil refleksi yang dihasilkan, ia tetaplah bermakna bagi proses perjalanan hidup selanjutnya.

Ia tidak hanya menemukan ke-benar-an, tetapi juga ke-pener-an. Benar dan pener memiliki dimensi aplikasi yang berbeda. Ketika bertemu seorang kawan yang tengah terpuruk ekonominya jangan lantas bertanya apakah ia sudah melunasi semua hutangnya. Fakta pertanyaan itu benar tapi tidak pener.

Ke-benar-an dicapai melalu disiplin filosofis metodologis, sedangkan ke-pener-an dipedomani rasa kemanusiaan. Sebenar-benarnya kebenaran yang diyakini tetaplah disampaikan secara pener atau bijaksana.

Kalau pun terlanjur hidup dalam sekat-sekat dan kotak-kotak dengan tali otoritas kebenaran yang menjerat leher, dan kalau pun teramat sulit melepaskannya, setidaknya kita memiliki kemerdekaan diri untuk mengolah kesempitan itu menjadi kebijaksanaan bagi orang lain.

Tuhan tidak pernah pensiun. Justru "mukjizat"-Nya mengalir di tengah penindasan dan situasi yang sumpek dan pengap. Mukjizat itu tampak manakala kita berlaku bijaksana pada orang lain seraya menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia.[]

Jagalan, 25 Desember 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun