"Mlungsungi", dengan demikian, merupakan doa bagi terjadinya perubahan menuju kahanan yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih beradab---dalam ranah dan ruang lingkup apa pun yang lebih luas.
Setiap penonton bebas memaknai realitas yang ditampilkan di atas panggung. Tidak ada pakem benar salah sepanjang hal itu bermanfaat bagi dirinya, hidupnya, dan lingkungannya.
Prof. Daniel M. Rosyid, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, usai menyaksikan drama "Mlungsungi" di Mentoro, mengatakan, "Bangsa ini perlu mlungsungi terpimpin agar bisa selamat menghadapi penipuan berkelanjutan nekolimik yang sudah lama menggerogoti negeri kepulauan ini hingga hari ini."
Jangan buru-buru marah. Itu pemaknaan. Pengadilan benar salah pada akhirnya justru mengurung kita pada justifikasi subyektif yang sempit.
Kalau ada lebih sepuluh ribu penonton, maka ada sepuluh ribu pemaknaan dalam setiap kepala. Pikiran tidak bisa dihadang oleh labelling, kooptasi, pembunuhan karakter. Apalagi sepuluh ribuan orang itu utuh mengutuh dalam gelombang doa.
Siapa sanggup menghalau doa yang bergetar-getar dalam kesadaran setiap orang walaupun doa tidak selalu diucapkan. Tadarus massal drama "Mlungsungi" menjadi gelombang harapan dan doa bagi kelahiran Indonesia yang baru.[]
Jagalan, 19 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H