Kita semua tahu bulan Ramadhan adalah bulan sedekah. Bulan untuk mengasah dan meningkatkan kualitas personal dan sosial. Kualitas personal digembleng melalui puasa, kualitas sosial diasah melalu sedekah.
Problema yang kerap dihadapi adalah paradigma tentang sedekah yang disyarati oleh sejumlah kekayaan. Sedekah identik dengan aktivitas orang-orang kaya, minimal, memiliki nominal uang lebih untuk disedekahkan.
Benarkah paradigma demikian itu? Sedangkan Tuhan menganjurkan tetaplah bersedekah dalam keadaan lapang maupun sempit (Q.S. Ali Imran: 134). Tuhan tidak menyebut secara spesifik, misalnya, dalam keadaan kaya maupun miskin. Atau ketika memiliki uang berlimpah atau sama sekali tidak punya uang.
Orang yang memiliki kekayaan berlimpah belum tentu hidupnya diliputi kelapangan. Bisa saja ia diimpit kesempitan-kesempitan, kepicikan-kepicikan, kekurangan-kekurangan yang tidak selalu terkait dengan uang.
Ia kaya dalam kemiskinan. Dan ini bukan persoalan banyaknya kekayaan yang berhasil dikumpulkan, melainkan sikap individual yang menjerumuskannya ke dalam mental kemiskinan.
Mentalitas itu dipicu dua hal: takut hartanya berkurang dan takut jadi miskin. Yang pertama, ketakutan hartanya berkurang, menyebabkan perilaku kikir. Yang kedua, takut miskin, menjadikannya orang yang serakah.
Pada sisi fakta yang lain, kita juga menjumpai orang-orang kecil yang hidupnya pas-pasan. Konotasinya, hidup orang kecil ini dianggap melarat karena tidak menampilkan sama sekali indikator-indikator material yang disebut kaya.
Hari ini dapat rezeki seratus ribu, ia bilang, "Alhamdulillah, cukup." Dapat rezeki tujuh puluh ribu, ia berkata, "Ya, Alhamdulillah, mudah-mudahan cukup." Dapat rezeki lima puluh ribu, ia berbisik "Alhamdulillah, dicukup-cukupkan."
Ia miskin dalam kekayaan. Dan ini bukan persoalan banyaknya uang yang berhasil dikumpulkan, melainkan sikap individual yang menjadikannya tatag dan selalu bersyukur.
Demikian profil dan sikap orang yang hidup dalam kelapangan, kendati orang lain menilai ia hidup dalam kesempitan. Namun, inilah hidup: bukan apa kata orang tentang hidup kita, tapi bagaimana sikap mental kita menjalani hidup.
Apa kaitan itu semua dengan sedekah? Lapang dan sempit hidup kita, pada akhirnya, tidak ditentukan oleh perolehan materi bersama aksesoris kekayaan yang membuat orang lain terkesan.
Demikian pula bersedekah: ia tidak ditentukan oleh sejumlah nominal yang kita miliki, melainkan bergantung pada rasa keberlimpahan yang tumbuh dalam diri. Mentalitas sedekah adalah mentalitas keberlimpahan.
Orang yang belum merasakan keberlimpahan akan berat memberikan sedekah karena ia merasa dirinya masih kekurangan, miskin dan melarat---sekaya apa pun ia.
Orang yang diliputi keberlimpahan akan ringan mengulurkan bantuan karena ia merasa cukup atas apa yang diperoleh---semiskin atau semelarat apa pun hidupnya.
Mental keberlimpahan ini pula menjadikan seseorang tidak mengharap lebih atas apa yang diberikannya kepada orang lain. Ia tidak masuk kategori orang yang memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak.
Sedekah ya sedekah saja. Memberi ya memberi saja. Menyantuni ya menyantuni saja. Tidak perlu ada udang di balik batu. Tidak perlu mengincar pamrih "udang" balasan di balik "batu" sedekah.[]
Jagalan, 9 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H