Bulan Ramadhan adalah bulan pembelajaran, bulan madrasah, bulan yang menjadi wahana pendidikan. Tak terkecuali di lingkungan sekolah, bulan Ramadhan perlu diserap spiritnya untuk, misalnya, meneguhkan kembali penguatan pendidikan karakter.
Apakah sekolah memiliki prioritas terhadap penguatan pendidikan karakter selama bulan Ramadhan? Prioritas yang tentu saja tidak sekadar formalitas, seperti kewajiban siswa meminta tanda tangan atau paraf setelah mengikuti shalat tarawih. Bukan pula sekadar kegiatan mengaji, baca tulis Al-Qur'an, atau latihan sembahyang.
Kalau formalitas semacam itu masih saja terulang setiap tahun, itu artinya penguatan pendidikan karakter jalan di tempat. Stagnan. Stagnasi itu tidak bisa ditutupi oleh gencarnya kampanye artifisial maupun Peraturan Presiden Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Kegiatan religius yang bersifat parsial, sepotong-potong, apalagi tidak berbasis data penelitian, misalnya, apakah peserta didik mampu membaca Al-Qur'an (BTQ) hasil proses belajar di sekolah ataukah dari luar sekolah, dan pihak sekolah tetap ngotot mengadakan kegiatan baca tulis Al-Qur'an di sekolah---justru semakin menjauhkan panggang dari api.
Alih-alih membentuk karakter, kegiatan religius di sekolah yang dijalankan sebagai formalitas tahunan dikhawatirkan semakin menenggelamkan peserta didik pada formalisme agama yang sempit dan kering. Kalau hal itu benar terjadi kita bisa membayangkan bagaimana nasib kehidupan beragama di masa akan datang.
Tak cukup mengandalkan kegiatan religius, selama bulan Ramadhan kepala sekolah dan pemangku kepentingan sekolah semestinya sudah memiliki visi yang hendak dicapai dan misi yang harus dikerjakan.
Visi dan misi pendidikan selama bulan Ramadhan menjadi fondasi untuk membangun budaya sekolah. Spirit bulan Ramadhan menyumbangkan asumsi dasar bahwa inilah saat yang tepat melakukan penyucian diri serta memberikan manfaat pada sesama (amal shalih).
Asumsi dasar itu dirumuskan dalam nilai perbuatan yang memandu praktik dan perilaku setiap warga sekolah. Asumsi dasar, nilai perbuatan, praktik dan perilaku selama bulan Ramadhan merupakan komponen pembentuk budaya sekolah.
Budaya sekolah yang dirumuskan melalui spirit bulan Ramadhan akan selalu relevan pada bulan-bulan berikutnya. Artinya, spirit tersebut dapat dipertahankan, dikembangkan, ditindaklanjuti melalui komunikasi yang efektif serta penilaian kinerja secara berkala.
Selama satu bulan Ramadhan warga sekolah dipandu oleh standar nilai perilaku. Standarnya bisa diambil dari lima matriks hukum Islam. Ada perilaku yang harus dikerjakan (wajib), sebaiknya dikerjakan (sunah), boleh dikerjakan (mubah), sebaiknya tidak dikerjakan (makruh), dan jangan dikerjakan (haram).
Matriks hukum Islam tersebut pada dasarnya tidak berfungsi dalam ranah ibadah mahdlah (personal) saja, melainkan menemukan fungsi aplikatifnya dalam lingkup ibadah muamalah (sosial).
Simulasi sederhana, misalnya, setiap warga sekolah harus (wajib) untuk saling tersenyum dan menyapa, menghargai pendapat orang lain, meletakkan sampah pada tempatnya, dan seterusnya.
Indikator perilaku itu disusun secara detail, berkesinambungan, dan dievaluasi secara berkala. Melalui komunikasi yang efektif kepada warga sekolah dan orangtua peserta didik, kepala sekolah memandu sekaligus memberi contoh penerapan standar perilaku tersebut.
Pada konteks yang lebih luas, budaya sekolah menuntun warga sekolah menerapkan norma, nilai, akhlak dan perilaku yang terpuji.Â
Islam bukan hanya mewajibkan umatnya shalat lima waktu, berpuasa, atau pergi haji. Lebih dari itu: budaya sekolah yang menemukan spirit Ramadhan membentuk keseimbangan pengalaman beragama melalui amal saleh yang manfaatnya dirasakan orang lain.
Budaya sekolah yang menyeimbangkan praktik ibadah mahdlah dan ibadah muamalah, iman dan amal shalih, saleh individual dan saleh sosial, cerdas kognitif, afektif dan psikomotorik. Hingga peserta didik pun mengerti dan mengalami bahwa dualisme itu sesungguhnya lebur dalam kebijaksanaan dan keindahan perilaku.
Apakah ada pencapaian karakter peserta didik yang kualitasnya mengungguli kemampuan berperilaku secara seimbang? Kecuali kita memahami pengertian karakter secara lebih sempit, cupet, dan picik. Semoga tidak.[]
Jagalan, 6 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H