Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Mengapa Hawa Nafsu Selalu Jadi Tersangka?

5 April 2022   03:20 Diperbarui: 5 April 2022   03:27 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasehat yang sering kita dengar dari para orangtua adalah makanlah apa yang ada. Makan saja seadanya. Lalu kita mengasosiasikan nasehat itu menjadi bayangan hidup yang dirundung kemiskinan dan kekurangan.

Nasehat tersebut bahkan terdengar kuno, ketinggalan zaman, dan menyalahi kaidah kuliner. Orang tidak terbiasa makan seadanya sehingga yang dia lakukan adalah mengada-adakan atau membayang-bayangkan makanan yang tidak ada.

Padahal nasihat makan seadanya itu nasihat yang rasional. Kalau di depan kita ada nasi pecel, ya nasi pecel itu yang dimakan. Ada nasi rawon, ya nasi rawon yang dimakan. Kalau yang ada nasi putih dan telur ceplok, ya itu yang dimakan. Bagaimana kita akan makan makanan yang tidak ada di depan kita?

Persoalannya, ternyata, bukan pada makanan yang tersaji di depan kita, melainkan nafsu makan kita yang berlari lebih cepat. Rezeki makanan yang terhidang di hadapan kita menjadi tidak berarti karena tidak sesuai dengan selera nafsu makan.

Rumus: sing enak iko yo sing onok, sing onok iku yo sing enak; yang enak itu ya yang ada, yang ada itu yang enak menjadi tidak relevan lagi. Bahkan sekadar urusan makan dan minum kita tidak berpijak pada kenyataan yang ada.

Tempe di hadapan kita menjadi tidak nikmat karena kita membayangkan sate kambing. Sudah tidak merasakan nikmatnya makan tempe, sate kambing pun cuma angan-angan belaka.

Simulasi makan seadanya tidak berlaku pada urusan kuliner saja. Kita bisa mengganti tema makanan dengan tema yang lain, seperti pakaian, handphone, motor, mobil, rumah serta aksesoris materi yang melambangkan kesuksesan hidup.

Kita melihat orang lain lebih enak hidupnya, lebih sukses karirnya, lebih sejahtera rumah tangganya. Padahal kita memiliki kenikmatan hidup yang orang lain belum tentu memilikinya. Namun, karena pikiran dikendalikan oleh standar kenikmatan milik orang lain, kita pun tidak menemukan kenikmatan hidup kita.

Akibatnya hidup terasa serba kurang. Bukan kita benar-benar kekurangan, melainkan pikiran tidak berpijak pada kenyataan. Di tengah berlimpahnya kenikmatan kita dikurung oleh pikiran yang serba kekurangan.

Alih-alih menciptakan bahagia, kita justru mengurung hidup dengan kepicikan-kepicikan yang kita ciptakan sendiri.

Jadi, apa yang membuat hidup Anda tidak bahagia? Apa alasan Anda sehingga tidak bahagia? Jawabannya tidak terletak di luar diri kita, melainkan tertanam dalam lubuk nurani kesadaran kita masing-masing.

Tuhan itu Maha Tidak Tega kepada hamba-Nya sehingga manusia diciptakan dengan default kebahagiaan. DNA hidup manusia adalah DNA bahagia. Akar yang menopang pohon kehidupan manusia adalah akar bahagia.

Kalau pun ternyata kita tidak bahagia kemungkinan penyebabnya ada dua. Pertama, mata kita buta sehingga tidak melihat kenikmatan yang melekat pada diri sendiri. Penyebab pertama ini mengakibatkan kita tidak pandai bersyukur.

Kedua, arah padang mata kita selalu tertuju pada orang lain yang dianggap lebih bahagia, lebih sukses, lebih makmur. Sikap ini tidak kalah gawat. Dengki, hasud, iri, merasa diri gagal merupakan sederet akibat psikologi yang merusak kesehatan mental dan fisik.

Jadi siapa yang mengacaukan irama hidup? Siapa yang menghalangi bahagia? Siapa yang mengingkari default bahagia yang tertanam laten dalam diri setiap manusia? Ya, siapa lagi kalau bukan kita sendiri pelakunya.

Entah apa yang ada di pikiran kita sehingga sering tidak menyadari nikmat tersembunyi seperti rasa lapar dan haus. Pernahkah kita menyadari nikmatnya lapar dan haus saat puasa? Lapar itu bukan musuh kita. Tak perlu kita membenci apalagi memusuhinya dengan menumpuk-numpuk makanan saat berbuka puasa sebagai bentuk balas dendam.

Yang buruk bukan laparnya, melainkan perilaku yang berlebih-lebihan saat merespons rasa lapar. Yang buruk bukan hausnya, melainkan nafsu yang tidak terkendali saat merespons rasa haus. Sebagaimana marah juga bukan sesuatu yang buruk. Yang salah dan buruk adalah perilaku destruktif akibat tidak bisa mengendalikan marah.

Lapar, haus, marah, sedih, bahagia serta perangkat emosi psikologi lainnya---juga hawa nafsu---tidak bisa dijadikan kambing hitam atas bobroknya kehidupan manusia. Setiap perangkat fisik, jasmani, emosi dan rohani bersifat netral: mereka tidak bisa dikenai pasal hukum baik buruk atau benar salah. Yang baik atau buruk, yang benar atau salah adalah output perilaku manusianya.

Maka kita tidak bisa menyalahkan makanan manis sebagai tersangka utama penyakit diabetes. "Salah saya apa?" tanya gula pasir. "Saya hanya mematuhi perintah Tuhan agar mengantarkan rasa manis kepada lidah manusia. Kalau ternyata manusia mengonsumsi saya secara berlebih-lebihan itu salah perilaku mereka sendiri."

Jadi, puasa bukan pertempuran melawan "tidak boleh makan" atau "tidak ada makanan", melainkan pengendalian melawan nafsu makan yang melewati batas.[]

Jagalan, 5 April 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun