Siapakah di antara kita yang bisa memastikan puasa hari ini diterima Tuhan? Sejauh yang mampu kita dambakan adalah memohon, berharap, semoga puasa kita diterima Tuhan. Selebihnya Tuhan sendiri Yang Maha Tahu kualitas puasa kita.
Oleh karena itu, kita tidak perlu mbagusi, berlagak jadi satpam yang melakukan screening kualitas iman dan takwa orang lain. Atau tidak usah kita berhimpun menjadi panitia pendaftaran masuk surga. Seolah-olah surga adalah peninggalan mbah buyut kita.
Tentu saja sikap beragama seperti itu menjadi ironi dan menimbulkan tragedi. Kita hidup di tengah dinamika zaman yang bukan hanya kian canggih dan modern, namun juga memerlukan kehadiran harkat kemanusiaan yang nyata.
Kita dihadapkan pada dua sisi mata uang yang berlawanan: taat beragama tapi kehilangan harkat kemanusiaan, atau tidak taat beragama agar tetap menjadi manusia.
Dikotomi itu kian menguat seiring dengan praktik kekejaman kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama. Manusia tega membunuh demi memperoleh tiket masuk surga. Nanti manusia bisa semakin sempit cara berpikirnya: untuk bisa masuk surga manusia harus tega membunuh.
Kita pasti sepakat bahwa perbuatan yang kejam dan keji itu tidak direkomendasikan agama apa pun. Perilaku tidak beradab itu murni kejahatan kemanusiaan. Bukan agamanya yang salah, tapi manusianya yang mengalami korsleting pikiran.
Pikiran yang korsleting diawali dan biasanya ditandai oleh sikap berpikir yang cekak, cupet, dan ciut. Cekak, artinya pendek nalar. Cupet, sempit nalar. Ciut, picik nalar. Penyakit cekak, cupet dan ciut merupakan murni kesalahan logika yang tidak bersangkut paut dengan kemurnian dan kesucian agama.
Penindasan, penjajahan, serta kejahatan terhadap martabat manusia kalau dilacak hulu-hilirnya akan kembali pada penyakit cekak, cupet dan ciut. Kegagalan membangun fondasi kemanusiaan itu bisa dipoles melalui kampanye kegagahan ideologi, kekhusyukan ibadah, keikhlasan beramal. Padahal, aslinya, output yang dihasilkan adalah terciptanya tragedi demi tragedi.
Ibadah puasa merupakan antitesis bagi praktik beragama yang outputnya justru mencederai martabat kemanusiaan. Ungkapan gamblangnya adalah dengan menghayati laku puasa kita dipaksa agar kembali menjadi manusia. Bulan Ramadhan adalah bulan kemanusiaan. Bulan ketika para pelaku puasa menyadari bahwa dirinya, ternyata, adalah manusia.
Puasa baru bekerja efektif kalau kita sadar sesadar-sadarnya bahwa kita adalah manusia, makhluk jasmani sekaligus makhluk rohani. Goal-nya adalah la'allakum tattaquun, agar kita menjadi manusia yang bertakwa. Pencapaian takwa ini pun hanya diberikan kepada manusia, tidak kepada ayam, pohon atau batu.
Apakah sadar diri sebagai manusia adalah kesadaran fundamental bagi tegaknya perilaku beragama sebagaimana yang dikehendaki Tuhan? Jawabannya, ya. Ia bahkan menjawab pertanyaan, mengapa agama diturunkan kepada manusia, tidak kepada kambing, gunung, dan pohon?
Adegan kisruh praktik beragama yang sarat dengan bentuk-bentuk kekejaman---bukan hanya kejam membunuh demi tiket masuk surga, tetapi juga kejam menyalahkan kelompok lain seraya membenarkan kelompok sendiri, kejam membuat standarisasi perilaku toleransi sesuai kepentingan, kejam menyatakan yang selain kami adalah sesat---sesungguhnya merupakan perilaku yang jauh dari kualitas manusia, alias masih berada dalam tataran perilaku hewan. Â Â
Bagaimana bisa beragama dengan baik, benar, dan bijaksana, lha wong sekadar menjadi manusia saja kita belum mampu. Bahkan pun puasa kita baru sekelas puasa ular: tidak makan dan tidak minum.
Tragedi kemanusiaan yang berlatar agama, dengan demikian, membuktikan bahwa kita gagal mengolah diri menjadi manusia yang sebenarnya.[]
Jagalan, dinihari 4 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H