Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Nyepeda", antara Kebutuhan, Gaya-gayaan, dan Cerita tentang "Siluman"

28 Juni 2020   22:34 Diperbarui: 28 Juni 2020   22:35 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sepeda. Sumber: KOMPAS.com/Shutterstock

Kalau bersepeda adalah tren dan setiap orang sepakat bahwa fenomena bersepeda adalah tren, maka ia tak ubahnya tren batu akik, burung Kenari, atau bunga Gelombang Cinta. Sesaat saja menyita perhatian lantas senyap jadi asap diterbangkan angin.

Kalau bersepeda adalah kebutuhan dan setiap orang sepakat bahwa fenomena bersepeda adalah kebutuhan, yang berangkat dari kesadaran akan kesehatan, penghematan bahan bakar fosil, perlawanan terhadap asap kendaraan bermotor, atau sekadar ngirit uang bensin di tengah kelesuan ekonomi, maka ia bisa bertahan agak lama.

Kalau bersepeda adalah peneguhan bagi identitas sosial kelas menengah atas dan setiap orang sepakat bahwa bersepeda adalah sejenis gengsi kelas yang ditunjukkan oleh harga sepeda yang mahal dan digandrungi oleh mereka yang sepaham, maka ia berjangka waktu sangat pendek akibat golongan kelas ini mudah larut dalam arus kemunculan fenomena tren-tren berikutnya.

Tulisan ini tidak mengklaim salah satu kemungkinan di atas. Seribu kemungkinan yang melatari fenomena bersepeda terbuka lebar.

Saya juga tidak nggumun dengan kian maraknya orang bersepeda malam hari. Bukan karena saya berasal dari strata sosial kelas sepeda onthel di tengah padatnya mobil mewah yang lalu lalang di  jalanan kota saya.

Gairah bersepeda marak sebelum pandemi mengepung kita. Di kampung saya anak-anak muda dan orang tua membentuk paguyuban sepeda. Setiap hari Minggu pagi mereka keliling ke desa-desa naik sepeda.

Nyepeda atau bersepeda menemukan momentumnya pada saat orang dipaksa untuk di rumah saja. Orang butuh semacam pelampiasan. Momentum itu diperkuat oleh jalanan kota yang sepi. Kendaraan bermotor di jalan tidak seramai biasanya.

Orang yang tinggal di kota mulai nyambangi alam dan suasana desa. Kenikmatan itu bisa dirasakan dengan bersepeda dan berbeda rasanya jika berkeliling naik motor atau mobil.

Di tengah tekanan berita pandemi yang tak ada habisnya, bahkan sebagian masyarakat berkesimpulan bahwa berita itu hanya membuat takut, serta "anomali" komunikasi penanganan pandemi yang minim rasionalitas, bersepeda menjadi aktivitas yang membebaskan tekanan psikologis.

Menuju jalan pembebasan orang berhak memilih caranya masing-masing. Mau membentuk klub pencinta burung hantu, bergabung dengan kelompok kuda lumping, menekuni meditasi, rajin nyepi di kuburan, ngopi di warung kopi sampai subuh, semuanya sah dan wajib dihargai.

Kendati untuk melakukan itu, kadang, alasan yang rasional bukan faktor yang utama.

Tren bersepeda bisa dipahami melalui perspektif bahwa manusia memerlukan trik mental untuk keluar dari tekanan. Ventilasi itu membuat jiwa merasa merdeka, uneg-uneg terlampiaskan, kejengkelan tersalurkan.

Hidup memang harus dijalani---tapi tidak dengan mental yang tertekan.  

Untuk itu kita perlu buang angin, meski sejenak saja, agar perut yang mules-mules tidak kian menyiksa.

Namun, bagi sebagian masyarakat yang lain bersepeda adalah kebutuhan untuk menyambung hidup. Tidak ada kendaraan lain selain sepeda sehingga berangkat dan pulang kerja ya naik sepeda.

Ada pandemi atau tidak, ada kenormalan baru atau tidak, ada anjuran jaga jarak sosial atau tidak, ke mana pun pergi bersepeda adalah satu-satunya pilihan.

Pilihan ini tidak ada kaitannya dengan tingkat stres seperti dialami mereka yang berpendidikan lebih tinggi akibat tingginya kesadaran kesehatan pada diri sendiri. Kemudahan mengakses informasi lalu meresponsnya secara berlebihan, jarang disadari sebagai satu dari pemicu stres.

Mbok-mbok penjual sayur, para buruh pabrik, bapak-bapak petani di dusun bukan lagi akrab dengan aktivitas bersepeda. Kendaraan GL alias Genjot Langsung adalah "kaki" mereka. Sulit membayangkan ada kemewahan bersepeda di sana.

Bersepeda adalah fakta sehari-hari ketika tren gowas-gowes  menyodorkan kemewahan hiperealitas yang terkadang lucu dan naif.

***

Hari masih cukup pagi ketika saya membeli nasi pecel di Alun-alun Jombang. Mak penjual nasi pecel baru saja memarkir sepedanya setelah gowes dari rumahnya ke Alun-alun yang jaraknya sekitar 7 km.  

Maksud hati ingin menikmati hawa segar, ndilalah, Mak penjual nasi pecel malah curhat. Sebentar lagi petugas Satpol PP akan meminta para pedagang di sekitar Alun-alun termasuk dirinya pindah ke lokasi lain, ungkapnya.

Saya memang mendengar penertiban pedagang di sana. Kabarnya, Alun-alun Jombang steril dari pedagang kaki lima.

Namun, pagi itu, ada pemandangan yang kontras. Pedagang kaki lima diminta tidak berjualan di sana. Sedangkan banyak sekali para penggowes berkumpul di Alun-alun. Video berisi pembubaran para pengayuh sepeda pada malam hari di sekitar Alun-alun juga beredar di media sosial.

Kalau Alun-alun harus steril dari semua aktivitas masyarakat, kenapa tidak dipasang Police Line secara memutar, menutup semua sisi dan jalan masuk? Praktis, efektif dan efisien.

Sarapan pagi saya terasa hambar. Curhat Mak penjual pecel bikin hati terasa njarem. Belum hilang rasa njarem itu, saya dapat kiriman video curhat orang-orang yang diisolasi di GOR Jombang.

Diwakili seseorang sebagai juru bicara, mereka melakukan video call melalui HP bersama Bupati Munjidah. Sejumlah keluhan, gugatan, sambatan disampaikan secara blokosuto, apa adanya---dan ini yang penting: tidak asal njeplak.

Kendati pakai bahasa Jawa khas nJombangan, muatan dan isi pikiran orang-orang itu jujur dan objektif. Informasi yang disampaikan bukan katanya, tapi sesuai fakta dan pengalaman selama menjalani isolasi di GOR Jombang.

Menyaksikan video itu saya tertawa sekaligus berduka, gembira sekaligus murka, bangga sekaligus prihatin, lega sekaligus tertekan oleh kenyataan betapa amburadul penanganan orang-orang yang diisolasi itu.

Tidak tega saya menuliskan fakta yang dikeluhkan orang-orang itu.

Logika protokol kesehatan yang selama ini digembar-gemborkan Pemkab dipatahkan oleh orang biasa yang mengaku dirinya: "Ya begini ini, Bu, bahasa orang tidak sekolah."

Bahkan kalau mau jujur, logika kesehatan itu sudah patah dengan sendirinya oleh inkonsistensi dan kacaunya pola komunikasi aparat kepada publik.

Kalau ada masyarakat (Jombang) mulai bertanya: "Sebenarnya ada apa dengan semua ini?" saya pikir wajar, meski jawabannya bisa mengandung cerita takhayul tentang siluman-siluman. Kisah tentang siluman ini sungguh enak dijadikan tema rasan-rasan, sambil sesekali beradu argumen, misalnya tentang popularitas vs kapasitas.

Nah, daripada pusing, mumet, sirah pecah memikirkan penanganan Corona, sebagian masyarakat memilih gowes, nyepeda sambil tertawa-tawa, menikmati "roda" kehidupan yang terus berputar.[]

Jagalan 280620  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun