Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Zona Warna, Kampung Tangguh dan Cermin Logika yang Terbalik

12 Juni 2020   15:19 Diperbarui: 12 Juni 2020   20:25 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam peta sebaran Covid-19 di Jawa Timur, Kota Surabaya terlihat berwarna hitam sejak empat hari terakhir.(Tangkapan layar). Sumber: KOMPAS.com

Siapakah manusia paling cerdas di jagat maya? Jawabnya para netizen. Siapakah manusia paling kocak di dunia maya? Jawabnya masih sama, para netizen.

Tuhan Yang Maha Cerdas menciptakan makhluk bernama netizen. Komentar mereka di media sosial bukan hanya cuitan dan cuatan yang cerdas. Mereka kerap menulis, entah disadari atau tidak, yang membuat logika kita tergelitik.

Ceritanya begini. Saya membuka grup Info Seputar Jombang di Facebook. Tentu para anggotanya kebanyakan arek-arek nJombang.

Salah satu anggota ada yang rajin menayangkan perkembangan jumlah positif corona di Jombang. Data itu diambilnya dari web Dinas Kesehatan Jombang.

Setiap hari data itu muncul di beranda grup. Respons anggota grup bermacam-macam. Ada yang pro dan kontra. Ada yang memuji dan ada pula yang mencaci. Macam-macam pokoknya.

Satu komentar membuat saya menangkap momen "Aha". 

Kurang lebih begini komentarnya: "Satu orang yang sakit, satu kecamatan berubah warna. Begitu sempitkah wilayah kecamatan itu?"

Ini tanggapan cerdas, terlepas dari adanya zona warna wilayah hijau, kuning, oranye, merah, merah pekat dan seterusnya.

Bukan soal warna yang saya cermati, melainkan komentar tersebut mengulik logika sehat.

Sebaran Covid-19 di Jombang (11/6/2020). Sumber: dinkes.jombangkab.go.id
Sebaran Covid-19 di Jombang (11/6/2020). Sumber: dinkes.jombangkab.go.id

Kalau memang setiap kecamatan diwarnai sesuai status bahaya, apakah hal itu otomatis atau bahkan harus mengikuti protokol kesehatan yang wajib dipatuhi? 

Kalau sekadar diwarnai saja tanpa diikuti intervensi penerapan protokol kesehatan oleh pemerintah kabupaten dan kecamatan, mengapa juga diwarnai? Tidak adakan fungsi lain dari warna-warna itu selain untuk warna-warni wilayah kecamatan?

Lebih detail lagi, kalau memang sengaja menggunakan zona "bahasa warna", apakah selama ini Pemerintah Kabupaten (Jombang) telah menjalankan, minimal, komunikasi yang jelas, masif dan konsisten?

Apa standarisasi komunikasi yang jelas, masif dan konsisten? 

Siapa juri atau pihak yang menilai bahwa komunikasi Pemkab kepada masyarakat telah berlangsung jelas, masif dan konsisten?

Kita ambil satu contoh simulasi. Kecamatan Jombang Kota warnanya merah. Ada 15 orang dinyatakan positif.

Dikutip dari Kompas.com, zona warna merah, menurut panduan yang dilansir dari Color Zone Pandemic Response Version 2 yang dipublikasikan oleh Chen Shen dan Yaneer Bar-Yam pada laman New England Complex Systems Institute, perlu melakukan tindakan:

  • Menutup sekolah, tempat ibadah dan bisnis.
  • Membatasi perjalanan untuk tujuan yang tidak penting.
  • Memberlakukan lockdown (karantina) bagi komunitas yang telah terinfeksi virus corona dan mengirimkan kebutuhan mereka tanpa kontak fisik. Dst

Kita patut menghargai "kerja keras" pemerintah setempat. Namun, dalam situasi seperti ini, selain mengobati pasien positif, langkah-langkah antisipasi perlu terus ditegakkan.

Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya menceritakan kondisi Pasar Citra Niaga (Pasar Legi) Jombang yang lumayan "bebas" dan nyantai di tengah jumlah komulatif pasien positif yang terus bertambah.

Hingga hari ini tercatat 114 orang terkonfirmasi positif di Kab. Jombang. Jumlah yang tidak sedikit ketika transisi kenormalan baru digaungkan pemerintah.

Sementara pasar tradisional di Kec. Peterongan ditutup "hanya" tiga hari. Keputusan itu diambil setelah ada pedagang yang dinyatakan positif.

Padahal lokasi pasar tersebut cukup dekat jaraknya dengan desa Plosokerep Kec. Sumobito. Di desa ini warga satu RT "di-lockdown" akibat ditemukannya "kluster baru" penyebaran Covid-19.

Belum juga tampak langkah-langkah intensif dan antisipatif untuk memutus penyebaran virus antarpedagang dan antarpasar. Kalau pun ada tarafnya anget-anget "telur" ayam.

Alih-alih meningkatkan kewaspadaan dan mengintensifkan komunikasi, Pemkab masih "bermain-main" dengan kegiatan seremonial.

Di desa saya, Kepatihan, dijadikan model "Kampung Tangguh". Ini---maaf---kegiatan seremonial yang tak kalah indah sekaligus bermain-main dengan kata-kata. Namanya saja Kampung Tangguh.

Kabarnya, untuk menjadi Kampung Tangguh kriterianya ada penduduk yang ODP atau PDP. 

Benarkah demikian? Tidakkah penggunaan frase "Kampung Tangguh" justru bertabrakan dengan logika sehat?

Mari kita uji. 

Yang manakah yang tangguh: kampung yang menjalani mekanisme antisipasi secara konsisten sehingga warganya terlindungi, ataukah kampung yang "kebobolan" akibat lemahnya langkah pencegahan dan mekanisme antisipatif?

Yang tangguh itu kampung yang mempertahankan wilayahnya sebagai "zona putih" berkat kerja sama warga, gotong-royong antar sesama, baik dibantu pemerintah desa maupun swadaya mandiri masyarakat.

Maka, saya wajib membesarkan hati anak-anak muda di kampung saya. Mereka telah berusaha melakukan tindak pencegahan dan langkah antisipatif.

Saya juga pernah menulis kegiatan mereka saat membagikan ratusan masker gratis kepada warga di Jagalan, pengemudi dan tukang becak di jalan. Penyemprotan desinfektan dilakukan secara mandiri berkat kerja sama dengan berbagai pihak.

Semuanya dikerjakan saat jumlah kasus terkonfirmasi positif di Jombang masih satu digit. Arek-arek telah bergerak sebelum Kampung Tangguh jangankan jadi program, tebersit di benak para pejabat pun belum.

Saya katakan kepada teman-teman, "Kampung kalian bukan Kampung Tangguh, tapi Kampung Sangat-sangat Tangguh dan Sangat-sangat Mandiri."

Setiap kampung memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, yang patut diwaspadai adalah ketika kemandirian, kekompakan, ke-guyub-rukun-an digusur oleh simbol-simbol pencitraan yang berakar dari lemah pandang akibat hiperealitas yang akut.[]

Jagalan 120620

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun