PSBB di Jakarta diperpanjang lagi. Satu bulan ke depan ditetapkan sebagai masa transisi.
"Kami di gugus tugas memutuskan untuk menetapkan status PSBB di DKI diperpanjang, dan menetapkan bulan Juni sebagai masa transisi," ujar Anies dalam siaran YouTube Pemprov DKI Jakarta, Kamis (4/6/2020), seperti dilansir Kompas.com.
Seiring dengan optimisme yang kian menguat, Jakarta pelan namun pasti menapaki tahapan new normal. Sebagian besar daerah mulai beranjak hijau dan kuning, walaupun ada juga yang masih merah.
Kondisi yang berbeda tengah dihadapi Surabaya. Kota Pahlawan itu beberapa hari terakhir kelabakan akibat "dicat" warna hitam.
Beragam klarifikasi terkait warna hitam disampaikan sejumlah pihak. Intinya, itu bukan hitam, tapi merah pekat, seiring dengan kasus terkonfirmasi positif yang terus bertambah.
Surabaya mengalami situasi "peperangan" seperti dihadapi Jakarta beberapa bulan lalu. Saat itu, kasus konfirmasi positif di Jakarta mencapai ribuan, Surabaya masih nyantai di angka ratusan.
Kini, kondisinya berbalik. Surabaya menjadi "penyumbang" kasus konfirmasi positif tertinggi.
Dampak penambahan jumlah kasus terkonfirmasi positif yang tinggi di Surabaya merembes juga hingga Jombang.
Diserbu Ribuan Santri
Saat saya mengetik tulisan ini, data dari Dinas Kesehatan Jombang (4/6/2020) menyebut angka kumulatif 77 kasus konfirmasi positif. 10 orang dinyatakan sembuh (13,0%), 5 orang meninggal dunia (6,5%).
Kalau di Jakarta berlaku aturan keluar masuk harus memiliki Surat Izin Keluar Masuk (SIKM), serta menutup pintu arus balik, bagaimana mekanisme "pembatasan" warga dari luar yang diterapkan Pemkab Jombang?
Warga luar yang dimaksud adalah ribuan santri yang mondok dan nyantri di kota Jombang. Semakin dekatnya tahun ajaran baru, santri lama dan santri baru, yang sebagian besar juga bersekolah formal, siap kembali ke Jombang.
Ini pasti tidak semudah mengatur arus balik yang hendak kembali ke Jakarta. Para santri berangkat dari berbagai kota di Indonesia tidak untuk bekerja, melainkan untuk menuntut ilmu di pesantren.
Jumlah mereka puluhan ribu. Sebut saja santri Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan. Di sana ada 9 ribuan santri dari luar kota Jombang. Serta seribuan santri yang ndodok pulang ke rumah di sekitar pesantren.
"Pesantren Darul Ulum akan memulai pembelajaran tahun 2020/2021 pada 14 Juli 2020. Sebagaimana penjadwalan yang sudah terjadwal dengan baik," kata Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum, KH Cholil Dahlan.
Ini baru satu pondok pesantren. Sementara masih ada sekitar 12 ribu santri yang siap kembali ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas.
Santri sebanyak itu tersebar di berbagai kota di Indonesia. Beberapa kota asal santri tidak semuanya aman dalam zona putih.
Bukan hanya aturan, mekanisme dan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin, penerapan new normal di pesantren memerlukan kajian dan kebijakan yang benar-benar akurat.
Jauh hari beberapa pihak mengingatkan pentingnya jaga jarak antar santri di pesantren. Kendati hal itu tidak mudah diwujudkan, bukan berarti pengasuh dan pengurus pesantren boleh melonggarkan aturan itu.
Menata keberadaan santri yang berjumlah ribuan memerlukan strategi dan skema yang seksama. Penghuni kamar yang isinya padat harus diurai dan dipecah. Satu kamar yang biasanya diisi 20 santri harus dilonggarkan.
Lantas apakah Pemkab Jombang siap menerima kedatangan ribuan santri?
Yang pasti sebelum masuk ke area pesantren ribuan santri itu tidak mungkin dikarantina.Â
Selain karena tempat yang sangat terbatas, diperlukan anggaran yang tidak sedikit untuk mengarantina santri. Sedangkan kegiatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kab. Jombang cukup menyita anggaran.
Tengah dibahas juga skema santri melakukan rapid test di kota asalnya sebelum kembali ke pesantren. Surat keterangan hasil tes ditunjukkan kepada pengasuh atau pengurus pondok. Diharapkan santri yang kembali ke pesantren benar-benar bersih.
Biasanya saat kembali ke pesantren santri diantar oleh orangtua dan keluarga.Â
Kebiasaan ini tampaknya tengah dikaji ulang. Orangtua dan keluarga dilarang ikut serta. Santri akan dijemput oleh armada yang ditunjuk pesantren di lokasi yang ditentukan.
Skema penjemputan itu tidak berbeda dengan proses pemulangan santri di awal pandemi Corona. Mereka diantar dalam satu rombongan menuju beberapa kota. Masjid Jami di kota tersebut menjadi salah satu titik penjemputan orangtua.
Corona memang bikin ribet! Atau jangan-jangan hidup kita memang sudah ribet?
New Normal dan Hiperealitas
Mengikuti umek-umek berita di media tentang persiapan new normal mengingatkan saya pada kata "hiperealitas".
Pernahkan Anda membeli satu cangkir kopi seharga 70 ribu? Padahal hitungan normal harga kopi adalah lima ribu hingga tujuh ribu. Selisih kenaikan harga 65 ribu itulah hiperealitas secangkir kopi.
Dalam 65 ribu itu terdapat merek, brand, citra, pajak, suasana kafe, status sosial, gengsi dan seterusnya. Semuanya tidak kasat mata alias ghaib alias fantasi alias khayalan.
Kita tidak memiliki daya kritis untuk membedakan mana kenyataan mana khayalan, mana fakta mana imajiner, mana benar mana hoaks, mana asli mana palsu.
Jean Baudrillad menyebut hal itu simulasi, yakni representasi atau gambaran tentang objek lebih penting daripada objek itu sendiri.
Fantasi yang menyertai kopi seharga 70 ribu lebih penting daripada fakta mendasar tentang kopi yang normalnya dibeli cukup lima ribu atau tujuh ribu.
Pada konteks hiperealitas dan simulasi itu, fantasi kita tengah diobrak-abrik oleh Covid-19.Â
Gamblangnya, sebelum pandemi datang yang kita selenggarakan adalah membangun dunia fantasi, alam hiperealitas, khayalan simulasi.
Hiperealitas merasuki setiap sektor: hiperealitas pendidikan, hiperealitas pesantren, hiperealitas politik, hiperealitas kesehatan, hiperealitas pertumbuhan ekonomi, hiperealitas pilkada, hiperealitas pemilihan presiden langsung...
Di tengah praktik hiper-hiperealitas Covid-19 melakukan hard reset.Â
Kita mau tidak mau dilempar kembali ke garis start. Seperti orang bangun tidur yang seketika sadar bahwa yang primer adalah kesehatan dan keselamatan, kebersamaan dan kepedulian, keaslian dan kejujuran.
Bahkan setelah orangtua bernikmat-nikmat dalam hiperealitas pendidikan, mereka kedodoran juga mendidik anaknya sendiri.Â
Hard reset pendidikan menitipkan pesan: anak bisa belajar di mana saja, kapan saja, melalui apa saja---tanpa harus duduk tertib dalam kelas.
Dalam imaji yang dibentuk oleh hiperealitas pendidikan, sekolah atau pendidikan formal memang penting, akan dianggap penting, dan selalu dipenting-pentingkan sehingga tiada yang lebih penting, dianggap penting dan selalu dipenting-pentingkan melebihi belajar di sekolah.
Yang kita kejar, menurut Baudrillad adalah simulacra: kenyataan semu yang sesungguhnya tidak pernah ada.
Celakanya, kita kerap berhadapan dengan kenyataan di mana sekolah, wa ala alihi wa shohbihi, adalah simulacra pendidikan.Â
Manusia yang khas, unik dan autentik dikaburkan personalitasnya demi memburu simbol-simbol hiperealitas di luar dirinya.
Sampai di sini saya harus meralat pernyataan saya sendiri: Corona tidak melulu bikin ribet!
Pandemi ini toh juga memiliki sisi baik. Ia mengembalikan abnormalitas hiperealitas menjadi kenormalan baru. Â
Yang merasa ribet dan rumit mempersiapkan new normal, jangan-jangan itu pantulan dari wajah hidup kita sendiri sebelum pandemi yang memang serba ribet, rumit dan tidak normal.
Di pos jaga malam itu saya mendengar dialog beberapa orang tentang new normal.
"New normal itu apa to, Kang?"
"New itu anyar atau baru. Normal itu waras. Jadi, new normal itu 'waras anyaran'."
"Ooo...ternyata selama ini kita jadi orang edan. Bener ta, Kang?"
Waduh, semoga saja tidak.[]
Jagalan, 040620
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H