Kita pakai analogi yang sederhana saja.Â
"Suku burung" merasa dirinya lebih baik dari "suku ayam" hanya karena burung bisa terbang sedangkan ayam tidak. Ikan merasa menjadi "ras" yang paling unggul berkat bakat alami bisa berenang.
Cacing ikut bersuara. "Sayalah 'suku' paling hebat di muka bumi. Saya tantang kalian semua, wahai para hewan, untuk bisa hidup satu hari saja di dalam tanah!"
Saling unggul dan merasa unggul bukan hanya antar hewan yang berbeda.Â
Sesama ayam pun kekuasaan superioritas itu juga berlangsung. Ayam kampung, ayam horn, ayam arab, ayam pejantan, ayam petelur masing-masing merasa golongannya paling unggul.
Padahal, sehebat-hebatnya burung yang bisa terbang, ia tidak mampu bertahan hidup dalam air. Sepintar-pintarnya ikan berenang, ia pasti megap-megap hidup di atas pohon. Sehebat-hebatnya harimau jadi penguasa hutan, ia akan keok melawan ribuan semut.
Alhasil, bukan siapa atau apa suku, ras, agama dan golongan yang unggul? Melainkan apa kontribusi personalitas setiap orang untuk kebaikan dan kemaslahatan sosial?
Kita tidak boleh terjebak dengan cara berpikir bahwa api lebih baik dari tanah---beserta aplikasi dan implikasi sosial, budaya, dan politik yang menyertainya.Â
Kesimpulan tanah lebih rendah dari api adalah kesimpulan materialisme yang mengandalkan kesombongan.
Oleh karena itu bukan apakah ayam lebih unggul dari cacing, melainkan apa kontribusi ayam dan cacing bagi keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem tempat keduanya hidup.
Soal kulit kita hitam, putih, lorek, abu-abu, cokelat; atau menganut agama dan kepercayaan apa; atau datang dari suku dan ras mana---semuanya bukan penghalang untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungan.
Yang ditagih oleh kehidupan adalah apa yang Anda lakukan untuk kebaikan dan keindahan bersama.