Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla pun angkat bicara.
"Berdamai itu kalau dua-duanya ingin berdamai. Kalau kita hanya ingin damai, tapi virusnya enggak, bagaimana?" ujar Kalla dalam diskusi Universitas Indonesia Webinar "Segitiga Virus Corona", Selasa (19/5/2020) seperti diberitakan Kompas.com.
Tentu ini bukan peperangan babak baru penggunaan istilah berdamai vs berdampingan. Kebiasaan berpolemik justru mengaburkan substansi persoalan.
Namun, satu biji kata mengandung lapisan makna denotasi, konotasi, nuansa, karakter, filosofi. Akar budaya dan mindset juga menentukan mengapa satu diksi dipilih dan digunakan.
Mestinya, situasi normal baru perlu diberangkatkan dari kewaspadaan menggunakan diksi atau frase. Dari sana kita mengaransemen gerakan-gerakan baru yang efektif dan efisien, yang akurat dan seimbang, yang tepat guna dan tepat sasaran.
Gerakan di rumah saja menerbitkan kesadaran bahwa keluarga merupakan satuan kehidupan yang saling terhubung.Â
Akar berkeluarga dengan batang, ranting, daun, dan buah. Struktur kerja biologis  pohon juga bersaudara dengan tanah, air, cacing, angin, hujan, langit dan seterusnya.
Api berkeluarga dengan air. Angin berkeluarga dengan gelombang. Badai berkeluarga dengan cuaca. Bumi berkeluarga dengan matahari. Galaksi Bima Sakti menjalin hubungan kekeluargaan dengan semesta tanpa batas.
Berkeluarga membuat setiap unsur dan elemen hidup secara berdampingan.
Kendati kita pernah menabuh genderang perang melawan virus corona dan justru membuat sektor kehidupan megap-megap, tidak ada kata terlambat untuk melakukan revisi cara pandang dan sikap pandang.
Pola hidup baru adalah manakala manusia menyatakan sikap berkeluarga dengan virus corona. Ini virus diterima sebagai "anggota keluarga" baru.
Sikap kekeluargaan ini mengandalkan filosofi Jawa yang menyatakan menang tanpa ngasoraken. Menang tanpa menghinakan.Â
Sedangkan perang melawan corona hasil pamungkasnya adalah  virus telah musnah. Adakah perang yang tidak membinasakan dan memusnahkan?