Sebagaimana "watak" obrolan yang tidak bergantung pada tema, demikian pula perbincangan saya bersama teman-teman yang malam itu awalnya ngalor ngidul akhirnya mengerucut pada kahanan normal baru.
Riuh rendah, saling sahut, saur manuk jagongan kami bagaikan orkestra. Kendati demikian, ketika satu teman bicara, teman lainnya mendengarkan.
"Kenapa dinamakan normal baru?" tanya Atem.
Riwul yang jadi sasaran pertanyaan menjawab enteng, "Ndak tahu, saya hanya menirukan orang-orang di medsos."
"Jadi kamu tadi bicara panjang lebar tentang normal baru aslinya tidak mengerti maksudnya apa?"
"Yesss!" jawab Atem sambil tertawa ngakak.
"Oalaah, Tem, Atem."
Doni yang terlihat agak terpelajar dibandingkan anak-anak itu menolong forum melalui penjelasannya tentang normal baru.
"Sebentar, sebentar...," Giplo memotong. "Mas Don, pemaparannya yang ringan-ringan saja. Jangan menggunakan istilah yang susah dipahami."
Doni mengiyakan saran Giplo.
"Normal baru dan baru normal, sama atau beda?" tanya Doni.
"Ya pasti beda," sahut Atem.
"Apa bedanya?"
"Baru normal itu situasinya benar-benar baru dan sudah normal. Kalau normal baru tidak tahu saya."
Demikianlah diskusi atau lebih tepatnya jagongan yang tidak ada ujung pangkalnya. Saya menikmatinya sebagai rasan-rasan yang menggairahkan. Daripada ngrasani orang lain mendingan ngrasani keadaan. Siapa tahu dapat ilmu atau hikmah.
Frase normal baru tengah jadi tema perbincangan. Saya jadi ingat menjelang munculnya frase normal baru, Presiden Jokowi mengajak masyarakat berdamai dengan Covid-19.
Sebelum ajakan berdamai didengungkan, kita beramai-ramai melakukan perlawanan terhadap itu virus. Genderang perang ditabuh. Virus harus dilawan. Virus harus dimusnahkan.
Sampai kapan kita bisa bertahan dalam peperangan melawan virus corona? Tiga bulan peperangan berjalan, nyaris membuat semua sektor tersengal-sengal. Beberapa sektor pingsan duluan.
Sektor ekonomi termasuk paling rendah imunitasnya. Pada bulan Juni mendatang roda ekonomi harus kembali digerakkan. Jika tidak kita bukan sekadar pingsan---bisa mati suri atau malah mati beneran.
Bisnis media pun harus berjuang keras agar tidak sekarat. Selama pandemi atau selama kita menabuh perang melawan virus corona, omset belanja menurun drastis.
Dilaporkan oleh Nielsen Indonesia, total belanja iklan turun 25 persen. Hingga minggu ketiga April 2020 belanja iklan hanya mencapai 3,5 triliun.
Dikutip dari laman dewanpers.or.id, beberapa media dengan skala bisnis menengah dan kecil saat ini sudah tidak mampu membayar gaji karyawan dan bahkan mulai memutus hubungan kerja (PHK) karyawannya.
Tidak salah apabila ada pendapat yang menyatakan istilah "berdampingan" dengan virus corona lebih tepat daripada "berdamai".
"Tapi kalau damai, ya itu istilah aja sih, tapi mungkin dari sudut virologi, istilah berdampingan itu lebih dapat dipraktikkan ya," kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla pun angkat bicara.
"Berdamai itu kalau dua-duanya ingin berdamai. Kalau kita hanya ingin damai, tapi virusnya enggak, bagaimana?" ujar Kalla dalam diskusi Universitas Indonesia Webinar "Segitiga Virus Corona", Selasa (19/5/2020) seperti diberitakan Kompas.com.
Tentu ini bukan peperangan babak baru penggunaan istilah berdamai vs berdampingan. Kebiasaan berpolemik justru mengaburkan substansi persoalan.
Namun, satu biji kata mengandung lapisan makna denotasi, konotasi, nuansa, karakter, filosofi. Akar budaya dan mindset juga menentukan mengapa satu diksi dipilih dan digunakan.
Mestinya, situasi normal baru perlu diberangkatkan dari kewaspadaan menggunakan diksi atau frase. Dari sana kita mengaransemen gerakan-gerakan baru yang efektif dan efisien, yang akurat dan seimbang, yang tepat guna dan tepat sasaran.
Gerakan di rumah saja menerbitkan kesadaran bahwa keluarga merupakan satuan kehidupan yang saling terhubung.Â
Akar berkeluarga dengan batang, ranting, daun, dan buah. Struktur kerja biologis  pohon juga bersaudara dengan tanah, air, cacing, angin, hujan, langit dan seterusnya.
Api berkeluarga dengan air. Angin berkeluarga dengan gelombang. Badai berkeluarga dengan cuaca. Bumi berkeluarga dengan matahari. Galaksi Bima Sakti menjalin hubungan kekeluargaan dengan semesta tanpa batas.
Berkeluarga membuat setiap unsur dan elemen hidup secara berdampingan.
Kendati kita pernah menabuh genderang perang melawan virus corona dan justru membuat sektor kehidupan megap-megap, tidak ada kata terlambat untuk melakukan revisi cara pandang dan sikap pandang.
Pola hidup baru adalah manakala manusia menyatakan sikap berkeluarga dengan virus corona. Ini virus diterima sebagai "anggota keluarga" baru.
Sikap kekeluargaan ini mengandalkan filosofi Jawa yang menyatakan menang tanpa ngasoraken. Menang tanpa menghinakan.Â
Sedangkan perang melawan corona hasil pamungkasnya adalah  virus telah musnah. Adakah perang yang tidak membinasakan dan memusnahkan?
Dikutip dari Kompas.com, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmita mengatakan, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.
Virus tetap ada dan kabarnya akan tetap ada dan selalu ada. Pola hidup baru, selain dilandasi oleh kesanggupan hidup berdampingan dengan itu virus, juga menguji daya adaptasi kehidupan manusia baik personal maupun komunal.
Masih menurut Wiku, prinsip utama dari new normal adalah dapat menyesuaikan dengan pola hidup. Artinya, kita perlu mengakui secara jujur dan ksatria bahwa kita tidak atau belum berhasil memenangkan perang melawan virus corona. Â
Tahap selanjutnya, setelah tidak berhasil dalam "old normal" peperangan, kita pun memasuki "new normal" cara berpikir dan bersikap untuk hidup berdampingan dengan "mantan" musuh kita.
Setelah membenahi mindset dan cara bersikap, selanjutnya mari bersama menata protokol new normal. []
Jagalan, 270520
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H