"Apa bedanya?"
"Baru normal itu situasinya benar-benar baru dan sudah normal. Kalau normal baru tidak tahu saya."
Demikianlah diskusi atau lebih tepatnya jagongan yang tidak ada ujung pangkalnya. Saya menikmatinya sebagai rasan-rasan yang menggairahkan. Daripada ngrasani orang lain mendingan ngrasani keadaan. Siapa tahu dapat ilmu atau hikmah.
Frase normal baru tengah jadi tema perbincangan. Saya jadi ingat menjelang munculnya frase normal baru, Presiden Jokowi mengajak masyarakat berdamai dengan Covid-19.
Sebelum ajakan berdamai didengungkan, kita beramai-ramai melakukan perlawanan terhadap itu virus. Genderang perang ditabuh. Virus harus dilawan. Virus harus dimusnahkan.
Sampai kapan kita bisa bertahan dalam peperangan melawan virus corona? Tiga bulan peperangan berjalan, nyaris membuat semua sektor tersengal-sengal. Beberapa sektor pingsan duluan.
Sektor ekonomi termasuk paling rendah imunitasnya. Pada bulan Juni mendatang roda ekonomi harus kembali digerakkan. Jika tidak kita bukan sekadar pingsan---bisa mati suri atau malah mati beneran.
Bisnis media pun harus berjuang keras agar tidak sekarat. Selama pandemi atau selama kita menabuh perang melawan virus corona, omset belanja menurun drastis.
Dilaporkan oleh Nielsen Indonesia, total belanja iklan turun 25 persen. Hingga minggu ketiga April 2020 belanja iklan hanya mencapai 3,5 triliun.
Dikutip dari laman dewanpers.or.id, beberapa media dengan skala bisnis menengah dan kecil saat ini sudah tidak mampu membayar gaji karyawan dan bahkan mulai memutus hubungan kerja (PHK) karyawannya.
Tidak salah apabila ada pendapat yang menyatakan istilah "berdampingan" dengan virus corona lebih tepat daripada "berdamai".
"Tapi kalau damai, ya itu istilah aja sih, tapi mungkin dari sudut virologi, istilah berdampingan itu lebih dapat dipraktikkan ya," kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio.