Ini bukan lagi sepi, tapi sunyi. Benar-benar sunyi. Lebaran tahun ini bukan lagi sepi, tapi sunyi, benar-benar sunyi.
Usai shalat Idul Fitri di mushola sebelah rumah yang khusus dihadiri warga RW 02 Jagalan, jalan di kampung sontak sepi. Jalanan bulan hanya sepi, tapi sunyi, benar-benar sunyi.
Tahun lalu nyaris semua warga keluar, beredar dari rumah ke rumah, melangkah dari pintu ke pintu, mengalirkan maaf dari hati ke hati. Ramai, gayeng, ceria.
Namun, tahun ini, 2020, usai shalat Idul Fitri di mushola sebelah rumah yang khusus dihadiri warga RW 02 Jagalan, warga berdiam diri di rumah. Lengang melayang-layang. Hening.
Tak perlu saya sebut penyebab jalanan menjadi lengang, sepi, dan sunyi. Tak perlu saya jelaskan muasal warga enggan keluar rumah.Â
Ah, sudahlah!
Saya menikmati ketidaklaziman ini bersama hati saya yang bukan lagi sepi, tapi sunyi, benar-benar sunyi. Saya biarkan jiwa melengang.
Ibu saya termangu di ruang tamu. Adegan video call bersama anak cucu di Jakarta mengambang di bola matanya. Dalam sepi yang bukan lagi sepi, tapi sunyi, benar-benar sunyi, ibu merapal doa-doa kebaikan untuk semua anak dan cucu.
Wajah ibu sumringah menyaksikan anak cucu di rantau sehat wal afiat, segar wal abugar.
Tinggal saya yang berusaha meniti sepi yang bukan lagi sepi, tapi sunyi, benar-benar sunyi. Ini Idul Fitri membetot jiwa ke dalam relung kesadaran yang paling inti.
Ucapan Mohon Maaf Idul Fitri mengalir, membunyikan tanda pesan masuk, lalu menumpuk dalam ruang memori. Kiriman ucapan dan desain lebaran meninggalkan kesan yang berbeda.
Desain dan Ucapan Idul Fitri yang Tidak Lazim