Kawan saya protes.
"Kamu selalu menggunakan kalimat yang nyleneh-nyleneh!"
"Kalimat apa?"
"Maafkan semua kebodohan saya."
Oalah, baru ngeh saya. Kalimat itu memang saya pasang di status Whatsapp. Saya upload jam tiga dinihari menjelang shalat Shubuh 1 Syawal.
Saya memahami protes kawan saya. Pasalnya, saya menerima ucapan Idul Fitri dari teman, sahabat, keluarga, kolega. Rata-rata kalimatnya standar.
Memang ada panduan doa dari Nabi Muhammad saat Idul Fitri. Setiap muslim sebaiknya berdoa seperti yang diajarkan Nabi Muhammad.
Adapun kalimat yang saya pasang itu merupakan refleksi sekaligus cermin diri sendiri. Saya memang bodoh, bahkan sangat bodoh. Bukan hanya itu: saya juga dholim, bahkan sangat dholim.
Urutannya, dholim dulu baru bodoh. Al-Qur'an menyebut manusia itu dholuman jahuula. Artinya, manusia itu sangat dholim dan sangat bodoh.
Jadi, saya menyebut diri bodoh bukan rekayasa atau saya merendah-rendahkan diri. Faktanya, dari aspek dan dimensi apa pun, saya bodoh dan dholim. Itu pun bukan kata saya, melainkan pernyataan dalam Al-Qur'an. Saya manut saja.
Dholim itu sejenis kebodohan dalam dimensi internal. Ia bergerak ke dalam. Dhulmun artinya gelap. Dholim adalah bodoh yang menghasilkan kegelapan dalam diri.
Menganiaya diri sendiri, kira-kira ini bahasa Indonesia-nya. Perbuatan yang merugikan diri sendiri, sekecil apapun, adalah perbuatan aniaya alias mendholimi diri sendiri.
Makan dan minum yang melampaui batas kewajaran daya tampung perut pastilah perbuatan dholim. Yang menanggung akibatnya adalah diri sendiri. Ini jenis kedholiman individual.
Adapun kejahatan mencuri uang rakyat, menggunduli hutan, menguras minyak di perut bumi, membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, merupakan bentuk kedholiman sekaligus kebodohan yang akibat dan dampaknya bersifat ganda.