Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Cerpen | Rembulan dalam Stoples Kaca

23 Mei 2020   01:01 Diperbarui: 23 Mei 2020   01:12 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hilal telah tampak, Sayang," kata Bang Toyib

"Aku tidak melihatnya," ucap Marsiti.

"Mengapa kamu tidak pernah melihat hilal?"

"Hilal memang tidak selalu tampak di mataku, Bang."

"Marsiti..."

"Bang Toyib..."

Keduanya lantas terdiam. Malam itu mendung menggantung di angkasa. Hilal tidak terlihat walaupun Marsiti berulang kali melongok ke atas, hanya gumpalan mendung hitam yang sekilas ia lihat.

Marsiti bergumam sendiri. Mengapa Bang Toyib selalu bisa melihat hilal? Makhluk apakah hilal ini sehingga Bang Toyib dan semua orang merasa butuh melihatnya? Angkasa yang luas tanpa batas tiada yang dicari kecuali hilal.

"Maafkan Abang, Marsiti. Abang harus pergi karena hilal telah tampak. Bukankah kamu juga melihatnya?"

"Aku tidak melihatnya, Bang, karena langit lagi mendung seperti perasaanku saat ini yang juga mendung gara-gara Abang memutuskan pergi setelah melihat hilal."

"Jangan menyalahkan hilal, Marsiti!"

"Mengapa Abang pergi?"

"Abang harus pergi untuk memastikan agar hilal selalu tampak di matamu, agar ia tampak selamanya, Marsiti, tampak selama-lamanya."

Marsiti mendengus kesal. Ia benar-benar benci mendengar kata "hilal". Mengapa hilal kadang kelihatan kadang tidak sehingga Bang Toyib harus memastikannya tampak untuk selama-lamanya?

Seandainya hilal selalu tampak ia tidak akan merasakan detik-detik perpisahan yang memilukan ini.

"Bagaimana cara Abang memastikan hilal tampak selamanya?"

"Abang akan berjuang, berkorban, bahkan bertarung nyawa demi membawa hilal ke pangkuanmu. Abang akan memasukkan hilal dalam stoples kaca sehingga kamu dan anak-anak bisa memandanginya kapan saja, di mana saja, selamanya, selamanya..."

"Bang Toyib..."

"Marsiti..."

Di jalan kampung yang becek, Marsiti menatap langkah kaki Bang Toyib. Tikungan jalan yang rimbun menelan bayangan Bang Toyib bersama malam yang kian malam.

Bagai mengenakan jubah malam Bang Toyib pergi mengambil hilal untuk dimasukkan dalam stoples kaca.

Sampai kapan Bang Toyib pergi? Tiada seorang pun tahu, juga Marsiti, yang setia menantinya di teras rumah, setiap malam, setiap malam, hingga malam berganti pagi.

Kadang Marsiti tergetar gembira saat mendongak ke atas. Hilal tidak tampak. Bang Toyib pasti berhasil memasukkannya dalam stoples kaca. Namun, getar bahagia itu berlangsung sesaat saja. Perasaan Marsiti diiris sembilu. Suaminya belum pulang kembali.

Tiga kali puasa, tiga kali lebaran Bang Toyib belum pulang. Apakah memasukkan hilal dalam stoples kaca memerlukan waktu tiga kali puasa, tiga kali lebaran, atau mungkin lebih lama lagi? 

Mengapa hilal tidak langsung dicomot begitu saja lalu dimasukkan stoples kaca, lalu bergegas pulang?

Marsiti dan anak-anak rindu. Marsiti rindu suaminya. Anak-anak rindu bapaknya.

Bang Toyib, Bang Toyib, mengapa tak pulang-pulang? Anakmu, anakmu panggil-panggil namamu.*

"Kapan Bapak pulang, Mak?"

"Iya, Mak, kapan Bapak pulang?"

"Sabar ya, Nak," hibur Marsiti, "Bapak masih mengambil hilal."

"Hilal itu apa sih, Mak?"

Marsiti terdiam. Ia tidak memiliki informasi tentang hilal meskipun kata itu sering disebutnya dan pernah juga dibencinya.

"Apa ya, pokoknya hilal. Hilal ya hilal," ucap Marsiti sekenanya.

"Kata temanku, hilal itu rembulan."

Marsti jadi ingat. Bang Toyib pernah cerita setiap menjelang malam Hari Raya orang-orang selalu ingin melihat hilal. Ada yang memakai teropong diarahkan ke langit. Ada yang menggunakan mata telanjang.

Mengapa hilal dicari-cari setiap menjelang Idul Fitri? Mengapa tidak mencari baju baru, sandal baru, sarung baru, mukena baru? Hilal kok dicari. Orang zaman sekarang memang aneh, gumam Marsiti.

Kabarnya, orang-orang di kota suka berselisih soal hilal. Ada yang mengatakan hilal telah muncul. Ada yang membantah hilal belum kelihatan. Siapa yang benar? Marsiti tidak tahu.

Semoga orang-orang tidak berselisih lagi karena Bang Toyib telah memasukkan hilal dalam stoples. Siapa yang ingin melihat hilal tinggal menyodorkan stoples kaca berisi hilal, "Nih, lihat...!"

"Apakah hilal bisa dimasukkan stoples kaca, Mak?"

"Emak tidak tahu, Nak."

"Apakah rembulan bisa diambil lalu dimasukkan stoples kaca?"

"Entahlah, Nak. Semoga Bapak berhasil memasukkan hilal dalam stoples kaca," ucap Marsiti sambil berpaling dari hadapan anak-anak. Matanya basah.

Abang di mana? bisik Marsiti. 

Tiga kali puasa, tiga kali lebaran Abang tak pernah pulang. Sepucuk surat pun tak datang.*

"Bapak sekarang sedang apa ya, Mak?"

"Iya, Mak, Bapak sekarang sedang apa ya?"

Sadar-sadarlah abang. Ingat anak istrimu. Cepat-cepatlah pulang. Semua rindukan dirimu.*

***

Nun jauh di sana, di belantara kota, tepatnya di bangku terminal, Bang Toyib memandangi angkasa. Hanya gulita membentang di sana. Stoples kaca masih didekapnya erat seolah enggan dilepaskan lagi. Stoples kaca berisi bulan sabit yang tipis dibalut semesta malam.

Hati-hati sekali Bang Toyib memasukkan stoples kaca dalam tas ransel saat mendengar orang di terminal bercakap-cakap.

"Katanya hilal belum tampak."

"Bukan tidak tampak tapi dicuri."

"Dicuri?"

"Hilal dicuri orang."

"Keparat! Siapa berani mencuri hilal sehingga kita tidak jadi merayakan Hari Raya?"

Dari radio penjual rokok terdengar lagu.

Sebentar lagi pagi kan datang
Walau sang bulan malas untuk pulang
Di bangku terminal benakmu bertanda
Gelisah seorang merasa terbuang
**

Apakah mengambil hilal harus pakai izin?

Bang Toyib diburu petugas gabungan. Pasal tuduhannya jelas: menghalangi orang merayakan Hari Raya gara-gara mengambil hilal. 

Ia terus berlari, terus berlari, berlari hingga hilang pedih dan peri. 

Bang Toyib ingat Marsiti, ingat kedua anaknya. Belum diputuskan kapan akan pulang kampung karena petugas gabungan berjaga-jaga di sudut kota.

Stoples kaca berisi hilal akan dipaketkan ke kampung. Alangkah bahagia Marsiti dan anak-anak menerima paketan rembulan dalam stoples kaca.

Rencana itu diurungkan karena Bang Toyib ingin menyaksikan langsung rona kebahagiaan istri dan anaknya saat membuka paketan, setelah menunggu tiga kali puasa tiga kali lebaran.

Angan Bang Toyib mengembara.

Sedetik ingatnya seribu angannya
Dambakan malam terus berbintang
Di bawah sadarnya nasib bercerita
Hangatnya surya bara neraka**

Bang Toyib harus berlari lagi. Ia tidak boleh berdiam diri terlalu lama. 

Di lorong kumuh yang tak mungkin dijangkau petugas, ia menyandarkan punggung.

Angannya kembali melayang.

"Hilal telah tampak, Sayang," kata Bang Toyib. Ia serahkan stoples kaca kepada Marsiti.

"Iya, Bang, hilal telah tampak. Apakah orang-orang jadi merayakan Hari Raya?"

"Besok kita merayakannya."

Bang Toyib membuka tutup stoples kaca. Hilal melayang menjadi asap putih yang tipis.

Sayup-sayup suara takbir sampai juga di lorong kumuh. 

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...

Mata Bang Toyib berkaca-kaca. []

Jagalan, 230520

* Lirik lagu "Bang Toyib"

** Lirik lagu "Berandal Malam di Bangku Terminal", Iwan Fals

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun