Warga Jombang memadati rute jalan Gus Dur untuk menyaksikan acara Grebeg Apem. Rencananya, ribun kue Apem akan dibagikan di bundaran Ringin Contong. Namun, warga tidak sabar lagi. Gunungan ribuan kue Apem itu pun diserbu beramai-ramai.
Mulai anak kecil, remaja, ibu-ibu hingga pria dewasa berebut kue Apem. Bahkan beberapa warga membawa kantong plastik untuk mengantongi kue tradisional itu.
Tahun ini Grebeg Apem diselenggarakan secara online. Antisipasi penyebaran virus corona menjadi pertimbangan utama. Bertempat di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Gubernur Jawa Timur dan wakilnya membuka acara Grebeg Apem.
Masyarakat tidak lagi saling berebut karena Apem sebanyak 1441 itu akan dibagikan secara tertib kepada mereka yang hadir.
Acara Grebeg Apem juga diisi tele conference bersama Bupati Jombang, Madiun, Trenggalek, Pamekasan dan Lumajang. Lima kabupaten ini sebagai simbolisasi rukun Islam dan sila Pancasila yang juga berjumlah lima.
Kegiatan rutin Grebeg Apem selain menjaga tradisi yang turun-temurun sejak nenek moyang, juga menjadi momentum bagi generasi zaman sekarang agar lebih mengenali muatan dan ajaran positif yang terkandung di dalamnya.
Klaim sepihak terhadap tradisi budaya Jawa yang menyatakan bahwa itu bid'ah, klenik, atau syirik tidak sepenuhnya benar. Tiga kata terakhir itu perlu dipelajari, diteliti, dipetakan makna denotasi dan konotasinya.
Sembrono menggunakan kata syirik misalnya, lalu melepaskannya dari konteks perbuatan, justru menambah salah paham yang berakhir dengan perpecahan di tengah masyarakat.
Apakah Grebeg Apem, memberi sesaji, kenduren, bancakan atau ritual tradisi lainnya yang telah mengalami proses akulturasi adalah perbuatan syirik? Wallahua'lam. Hanya Tuhan yang tahu.
Mengapa wallahua'lam? Syirik dan bukan syirik tidak bergantung pada benda atau momentum perbuatan, melainkan terletak dalam hati manusia. Sedangkan yang mengetahui isi hati setiap manusia hanya Tuhan.Â
Kita tidak perlu kemenyek jadi "asisten" Tuhan yang menuduh-nuduh orang lain.[]