Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ndak Perlu Mudik! Ini 3 Langkah "Sungkem Online" Penuh Makna

16 Mei 2020   20:39 Diperbarui: 16 Mei 2020   20:39 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mudik. Foto: KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG

Terus terang saya merasa musykil menggunakan istilah mudik online. Mudik kok online. Pulang kampung kok online. Apalagi mempertentangkan pengertian mudik dan pulang kampung. Sebagaimana---maaf---apa beda tarif listrik yang dinaikkan dengan tarif listrik yang disesuaikan?

Kalau untuk menghibur diri karena belum bisa menapakkan kaki di tanah kelahiran tak apalah. Namun, bagaimana pun, mudik secara offline dan mudik secara online adalah dua aktivitas berbeda.

Belum lagi kita menghitung konsekuensi dari beberapa istilah selain mudik dan pulang kampung, seperti sambang kampung, balik kampung, ngendangi kampung dan seterusnya.

Bahkan salah satu tanda Society 5.0, di mana pun domisili kita, di desa atau di kota, di pinggiran kampung perkotaan atau di tengah hutan belantara, kita dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era Revolusi industri 4.0, seperti Internet on Things (internet untuk segala sesuatu), Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah besar), dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Jarak geografis desa dan kota melebur dalam satu genggaman. Lalu, di manakah konteks aktivitas mudik berada?

Karena Mudik Bersemayam dalam Jiwa Kesadaran

Sejatinya, mudik berada dalam cakrawala kesadaran setiap manusia. Ia mengandalkan tidak terutama sebagai aktivitas fisik, yang ditandai mobilitas besar-besaran dari kota menuju desa. 

Kelak, ketika masyarakat urban mengalami puncak problematika, seperti Jakarta saat ini yang mengkek-mengkek menyangga hampir semua kepentingan dan kebutuhan umat manusia secara nasional, desa menjadi pilihan terbaik sebagai tempat pulang dan kembali.

Walaupun kita berdomisili di desa mudik tetap bisa dilakukan sebagai kesadaran jiwa yang menghubungkan kita dengan "akar masa lalu". Mudik adalah kembali kepada yang Asal, kembali kepada yang Asli, kembali kepada yang Sejati.

Untuk bisa mengerjakan semua itu, media offline atau online tak lebih sekadar sarana dan metode. Selebihnya, jiwa kesadaran kita bisa mudik kapan dan di mana saja.

Misalnya, saat "tersesat" di belantara kota kita teringat anak dan istri yang tinggal di kampung merupakan "mudik kesadaran" yang menjaga kita berada di jalan yang lurus: tidak menyeleweng, tidak mengkhianati kepercayaan istri, tidak menikah lagi secara diam-diam.

Saya memasang asumsi, yang tengah kita rindukan adalah romantisme pulang ke kampung halaman. Di sana kita menginjak tanah basah, menghirup udara segar yang diproduksi oleh rimbun pepohonan, membasuh wajah dengan air yang keluar dari sumur belakang rumah, menyentuh embun pagi di atas daun pisang, menikmati masakan ibu dari pawonan yang menggunakan kayu bakar...

Lalu kita pun beramai-ramai menghibur diri dengan mudik online yang kian menambah kerinduan.  

3 Langkah sebelum Melakukan Sungkem Online

Alih-alih menghibur diri tapi sambil menahan kerinduan yang teramat sangat, mengapa kita tidak sekalian saja berdamai dengan kerinduan? Jadi, ini langkah pertama yang perlu dilakukan saat didera kerinduan yang menghebat.

Ya, berdamai---kita mengakui secara jujur bahwa kita menahan rindu. Ingin sekali pulang kampung. Ingin sekali berjumpa dengan sanak keluarga. Ingin sekali jagongan bersama kawan bermain masa kecil dahulu.

Namun, karena situasi dan kondisi belum mengizinkan kita harus menunda kepulangan itu. Kita rangkul rasa rindu secara ikhlas, legowo, dan apa adanya.

Mungkin pipi kita terasa hangat oleh bulir air mata. Menyelami kerinduan lebih dalam lagi siapa tahu menghasilkan sebiji puisi.

Langkah kedua adalah membayangkan beberapa akibat dari keputusan yang kita ambil. Upamanya kita tetap nekat pulang kampung. Sebelum keputusan itu dieksekusi, ambil jeda terlebih dahulu untuk membayangkan apa yang akan terjadi.

Keluarga di rumah, ayah, ibu, kakak, adik, Pak Dhe, Bu Dhe, keponakan, tetangga dekat bisa jadi tertular virus corona yang tanpa sadar kita bawa dari kota zona merah. Betapa repot dan ribet saat kita harus menjalani isolasi.

Harapan berjumpa dengan keluarga pun tertahan selama 14 hari di ruang isolasi. Itu pun kalau kita dinyatakan bebas corona. Akan sangat mengenaskan apabila acara pulang kampung berakhir di rumah sakit akibat kita ditetapkan sebagai pasien positif corona.

Membayangkannya kian membuat perasaan jadi miris. Bapak Emak sedih. Kakek nenek sedih. Kakak adik sedih. Pak Dhe Bu Budhe sedih. 

Kita nekat pulang kampung hanya untuk berbagi kesedihan. Alangkah mengenaskan!

Sekarang, kita membayangkan suasana saat kita menahan diri tidak pulang kampung. Kita tidak melakukan mudik online. Mudik kok online. Yang dibayangkan adalah kita melakukan sungkem online kepada Ayah dan Ibu. Bertatap wajah melalui video call.

"Alhamdulillah, Mak, saya sehat di sini. Bapak dan Emak bagaimana, sehat?"

"Alhamdulillah, Le, Bapak dan Emak sehat."

"Ngapunten ya, Mak, saya belum bisa pulang. Salim sungkem saya untuk Bapak dan Emak. Mohon maaf atas semua kesalahan saya, Mak." (Sambil mulai menahan isak).

(Emak mengusap matanya yang merah). "Oalaah, Le, sama-sama. Bapak dan Emak juga minta maaf. Lama sekali belum bisa nyambangi kamu. Semoga kamu diberi kesehatan dan dijaga hidupmu oleh Gusti Allah..."

(Kedua mata benar-benar basah). "Amin. Semoga Bapak dan Emak juga sehat. Doakan saya ya, Mak."

Sungkem online terlaksana. Keluarga di kampung semoga tetap sehat dan bahagia.

Setelah membayangkan dua opsi (nekat mudik atau bertahan tidak pulang kampung) bersama akibat yang menyertainya, kita tinggal memilih. Akal sehat dan logika yang waras pasti berpihak pada opsi menahan diri tidak mudik.

Bukan egoisme yang kita gelorakan, melainkan empati dan kasih sayang kepada orang tercinta yang kita perjuangkan.

Langkah ketiga adalah menyusun perencanaan teknis sebelum acara sungkem online berlangsung. Apa saja yang perlu ditata? Menghitung berapa kuota online yang diperlukan, apa aplikasi video call yang biasa digunakan oleh keluarga di desa, berapa lama durasi sungkem online berlangsung, serta persiapan teknis lainnya.

Menjalankan sungkem online pada 1 Syawal menjadi komitmen yang kita tegakkan. Rencana sungkem online harus menjadi kenyataan, demikian kita meneguhkan tekad kebaikan ini.

Masih dalam rangkaian langkah ketiga, ketika sungkem online benar-benar berlangsung, jangan lupa membuat refleksi. Kita bisa menulis refleksi sungkem online, misalnya bagaimana perasaan kita saat berjumpa dengan Bapak dan Emak secara online? Apa yang kita rasakan saat meminta maaf kepada kedua orangtua?

Bagaimana ekspresi kedua orangtua, saudara kandung, atau keluarga yang lain? Bagaimana isi perasaan mereka? Apa ilmu dan hikmah di balik pengalaman ini?

Refleksi itu akan menjadi dokumentasi pengalaman sekaligus catatan spiritual yang berharga dalam hidup kita. Ternyata benar, bersama datangnya kesulitan hadir pula kemudahan. Amin.[]

Jagalan, 160520

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun