Jujur, kita kerap memandang sebelah mata bahwa Penjaskes adalah mata pelajaran pinggiran. Tidak begitu penting. Sekadar mata pelajaran tambahan yang waktunya boleh digeser atau ditiadakan.
Bahkan, tidak sedikit para orangtua dan mungkin juga pihak sekolah menilai Penjaskes adalah mata pelajaran "hiburan".
Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Penelitian dari Youth Sport Trust menunjukkan, 38 % sekolah menengah di Inggris memangkas jam pelajaran pendidikan jasmani untuk siswa berusia 14-16 tahun.
Tahukah Anda apa alasannya? Alasan utama pemangkasan itu adalah tingginya tekanan kepada sekolah supaya anak mendapatkan nilai akademik yang tinggi. Jam belajar untuk Penjaskes dipakai untuk menambah pelajaran atau les tambahan mata pelajaran akademik.
Kenyataan itu setali tiga uang dengan kondisi pembelajaran di Indonesia. Ketika siswa berada di kelas akhir (kelas VI sekolah dasar, kelas IX SMP, dan kelas XII SMA), jam belajar Penjaskes dipastikan terpangkas waktunya. Bahkan beberapa sekolah meniadakannya.
Alasan penggusurannya pun sama. Jam belajar Penjaskes digunakan untuk belajar mata pelajaran yang di-Uji Nasional-kan. Nilai akademik yang tinggi menjadi prioritas utama.
Lagi-lagi, kita berhadapan dengan mindset pendidikan yang menjadikan pencapaian nilai akademik sebagai dewa cita-cita tertinggi. Pendidikan yang seharusnya menawarkan cara berpikir yang utuh dan seimbang kalah oleh keinginan praktis yang hanya sesaat.
Yang salah tentu bukan mata pelajaran Penjaskes, melainkan sudut pandang dan cara pandang kita. Pelajaran olahraga memang dianggap pelajaran yang santai, rileks dan menyenangkan.
Jam belajar Penjaskes juga dinilai sebagai saat untuk bersenang-senang setelah siswa merasa suntuk dan tertekan usai belajar mata pelajaran yang di-UN-kan. Namun, bukankah aktivitas jasmani itu mendukung proses belajar secara luas?
Mindset yang bisa kita tawarkan adalah selain mendukung proses belajar, siswa juga memperoleh pengalaman belajar yang bermakna melalui pelajaran Penjaskes.
Pengalaman belajar yang bermakna, inilah problem pendidikan kita saat ini. Kita terlalu berorientasi pada formalisme belajar seraya mengabaikan dimensi substansial-filosofis dari proses pembelajaran siswa.