Ketiga, panic buying, kalap makan, menimbun bahan pangan atau sejumlah tindakan irasional itu pada dasarnya adalah akibat dari sebab kebudayaan yang serba melampiaskan ketimbang mengerem. Peradaban manusia, katakanlah sejak revolusi industri hingga hari ini adalah peradaban ngegas alias tancap gas.
Yang berkuasa ngegas terus agar terus berkuasa. Yang kaya ngegas terus supaya terus kaya. Yang korupsi ngegas terus biar terus bisa korupsi.Â
Yang punya modal finansial menimbun bahan pangan demi mengatasi ketakutan tidak bisa makan esok hari. Yang sedang menyantap makanan juga ikut ngegas mumpung lagi dapat jatah makan gratis.
Kita bisa mendaftari amat sangat banyak perilaku ngegas dalam hidup keseharian. Bahkan, kini, telah tersedia arena balapan agar pengguna bisa ngegas sepuasnya. Media sosial adalah ajang balapan untuk adu kekuatan ngegas.
Jadi, panic buying dan kalap makan bukan perilaku sesaat yang dikerjakan dalam waktu singkat. Di dalamnya terkandung kompleksitas sistem nilai kebudayaan bahkan peradaban.
Terjadi perubahan cukup signifikan dalam sistem nilai kebudayaan yang mengubah pola belanja dan konsumsi makanan akibat industrialisasi, urbanisasi, konsumerisme, serta pertumbuhan populasi ekonomi kelas menengah.
Kita tengah berada di tengah atmosfer zaman yang melakukan yuwaswisu melalui iklan, promosi, diskon, potongan harga, "beli satu dapat dua".Â
Pokoknya, kita didorong belanja sebanyak-banyaknya. Perkara barang belanjaan itu dibutuhkan benar ataukah tidak itu pertimbangan nomor dua puluh tujuh.
Ringkas cerita, bicara tentang panic buying dan kalap makan akan beririsan pula dengan kian gencarnya pembukaan supermarket dan kian redupnya pasar tradisional.Â
Sampah makanan yang kian menumpuk dan berkontribusi terhadap pemanasan global. Sampah yang membusuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ternyata menghasilkan gas metan 25 kali lebih berbahaya dibandingkan karbon dioksida.
Puasa sebagai salah satu metode yang mengajari kita cara "makan yang sejati" belum cukup ampuh mengubah perilaku ngegas. Puasa itu kan dari shubuh hingga maghrib. Selepas maghrib kita kembali kepada kebiasaan asli kita.