Cukup sering kita mendengar dan mengucapkan kata "silaturahmi". Idiom yang diambil dari bahasa Arab itu telah menyatu dan melebur dalam perbincangan sehari-hari. Â
Silaturahmi disusun dari dua kata: shilah dan rahmi. Dua kata yang berbeda artinya dirangkai menjadi sebuah makna baru. Bahasa Indonesia menyebutnya kata majemuk.
Kata majemuk "silaturahmi" dalam tata bahasa Arab serupa dengan susunan mudlof-mudlof ilaihi. Gabungan dua kata yang menghasilkan pengertian baru.
Secara praktis, shilah artinya persambungan dan rahmi adalah kasih sayang. Silaturahmi adalah persambungan kasih sayang.
Adapun kata "rahmi" merupakan kata dasar dari "rahim", yang merupakan salah satu sifat Tuhan. Kita mengenal sifat Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim. Bahasa Indonesia menerjemahkannya sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kalau pengertian etimologi itu dihubungkan dengan kesadaran teologi, maka silaturahmi adalah menyambung kasih sayang Tuhan kepada sesama makhluk. Berhubung makhluk Tuhan bukan hanya manusia, kasih sayang itu juga dijalin bersama udara, tanah, air, pohon, gunung, laut, kerbau dan seterusnya.
Benar, ruang lingkup silaturahmi memang cukup luas, seluas alam semesta. Namun, sayangnya, silaturahmi kerap dimaknai sebatas menjalin kasih sayang dengan sesama manusia.
Tidak ada yang sia-sia dengan semua ciptaan Tuhan yang Maha Rahim. Api bersilaturahmi melalui panasnya yang membakar; angin melalui hembusannya; tanah melalui kesuburan dan kepasrahannya; pohon melalui rindang dan buahnya.
Bahkan, makhluk super lembut, virus corona, mengajarkan makna "silaturahmi" secara lebih substansial dan mendasar. "Silaturahmi" corona merupakan konsekuensi logis atas ketidakseimbangan tata kelola kehidupan yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Tema Samber Hari 5 akan cukup bermakna apabila tidak sekadar ditulis silaturahmi antar teman, antar sahabat, antar rekan kerja, atau antar manusia. Refleksi yang lebih mendasar tengah dibutuhkan oleh kita semua supaya tidak terjerat pada pemaknaan silaturahmi yang "itu-itu" saja.
Tentu saja saya juga mengalami situasi yang mengharuskan saya tidak bertemu dengan sahabat dan rekan kerja. Sebagaimana layaknya "manusia modern" yang hidup di tengah fasilitas teknologi informasi dan digital, pertemuan jarak jauh antar kawan dalam satu komunitas pun terjalin secara live dan real time.
Fahmi Agustian (penggiat Kenduri Cinta Jakarta), Patub Letto, Mas Sabrang Letto, Pak Toto Rahardjo (editor beberapa buku Cak Nun dan pendiri Sanggar Anak Alam/Salam, Yogyakarta), Ian L. Bets (peneliti dan penulis buku Jalan Sunyi Emha) dan beberapa kawan penggiat, bertukar pikiran dan belajar bersama atau sinau bareng.Â
Forum Reboan on the Sky, 15 April 2020, membahas dua tema sentral. Ian L. Betts menyelami tema "Post Covid-19: From the Fall of Capitalism to the rise of Civil Solidarity", yang menitikberatkan pada kebangkitan lahirnya kesadaran komunal untuk saling berbagi. Mas Sabrang MDP membedah "Antara Awareness dan Consciousness: Maiyah merespons Covid-19".
Cangkurkan online itu bukan sekadar ajang setor muka melalui conference call. Bukan pula sebatas sarana temu kangen akibat anjuran "Di Rumah Aja". Semangat sinau bareng serta ikatan silaturahmi sebagai sesama al-mutahabbuna fillaah (berkasih sayang bersama dan di dalam Kasih Sayang Allah) menjadi pondasi untuk membangun cara berpikir, sikap berpikir, daya kritis berpikir, hikmah berpikir di tengah situasi pandemi.
Silaturahmi adalah metode. Yang tidak kalah penting adalah output dan outcome dari silaturahmi. Apa hasil dari silaturahmi? Adakah manfaatnya untuk orang lain dan kehidupan sosial?
Dipanjangkan usianya dan dilapangkan rezekinya sebagai hasil kegiatan silaturahmi harus dimaknai tidak sebagai keuntungan pribadi semata, melainkan diluaskan cakupannya hingga menyentuh kehidupan sosial yang lebih nyata.
Maka, pada kesempatan berbeda di cangkrukan online bersama para penggiat Maiyah se-Nusantara, mulai dirancang dan ditemukan pemberdayaan secara mandiri dan bermartabat. Ruang lingkupnya pun dimulai dari skala keluarga dan tingkat Rukun Tetangga (RT).
Setiap orang ditantang menjadi decision maker meskipun pada skala yang kecil. Pemberdayaan lingkaran komunal diharapkan mampu menjamin kebutuhan pangan. Covid-19 telah meruntuhkan perilaku egoisme borjuis: kita akan mengutamakan keamanan, kesehatan, keselamatan ataukah kepemilikan aset?
Kita memilih ketersediaan pangan ataukah mempertahankan gaya hidup mewah?
Bergeser ke dunia pendidikan, pertanyaannya adalah apakah pendidikan kita masih akan mengedepankan kompetisi ataukah mulai mendidik siswa melakukan kolaborasi?
Berderet-deret pertanyaan bisa kita ajukan di tengah situasi pandemi seperti ini. Pertanyaan yang tidak menyalahkan siapa pun, melainkan untuk mengoreksi atau melakukan muhasabah: ternyata konsep dan perilaku substansial silaturahmi kita belum beres benar.
Kita belum menjalin kasih sayang dengan udara, air, tanah, pohon, hutan, laut, bukit dan penghuni alam semesta. Bahkan terhadap nasib sesama manusia, kita tega menjadikannya deretan angka statistik demi strategi pemenangan adu kekuasaan.
Yang kita lakukan justru silatulfasad, menjalin kerusakan di setiap jengkal langkah hidup kita.
Semoga yang terakhir itu terjadi di "negeri sebelah", bukan di negeri ini. Amin. []
Jagalan, 010520
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H