Fahmi Agustian (penggiat Kenduri Cinta Jakarta), Patub Letto, Mas Sabrang Letto, Pak Toto Rahardjo (editor beberapa buku Cak Nun dan pendiri Sanggar Anak Alam/Salam, Yogyakarta), Ian L. Bets (peneliti dan penulis buku Jalan Sunyi Emha) dan beberapa kawan penggiat, bertukar pikiran dan belajar bersama atau sinau bareng.Â
Forum Reboan on the Sky, 15 April 2020, membahas dua tema sentral. Ian L. Betts menyelami tema "Post Covid-19: From the Fall of Capitalism to the rise of Civil Solidarity", yang menitikberatkan pada kebangkitan lahirnya kesadaran komunal untuk saling berbagi. Mas Sabrang MDP membedah "Antara Awareness dan Consciousness: Maiyah merespons Covid-19".
Cangkurkan online itu bukan sekadar ajang setor muka melalui conference call. Bukan pula sebatas sarana temu kangen akibat anjuran "Di Rumah Aja". Semangat sinau bareng serta ikatan silaturahmi sebagai sesama al-mutahabbuna fillaah (berkasih sayang bersama dan di dalam Kasih Sayang Allah) menjadi pondasi untuk membangun cara berpikir, sikap berpikir, daya kritis berpikir, hikmah berpikir di tengah situasi pandemi.
Silaturahmi adalah metode. Yang tidak kalah penting adalah output dan outcome dari silaturahmi. Apa hasil dari silaturahmi? Adakah manfaatnya untuk orang lain dan kehidupan sosial?
Dipanjangkan usianya dan dilapangkan rezekinya sebagai hasil kegiatan silaturahmi harus dimaknai tidak sebagai keuntungan pribadi semata, melainkan diluaskan cakupannya hingga menyentuh kehidupan sosial yang lebih nyata.
Maka, pada kesempatan berbeda di cangkrukan online bersama para penggiat Maiyah se-Nusantara, mulai dirancang dan ditemukan pemberdayaan secara mandiri dan bermartabat. Ruang lingkupnya pun dimulai dari skala keluarga dan tingkat Rukun Tetangga (RT).
Setiap orang ditantang menjadi decision maker meskipun pada skala yang kecil. Pemberdayaan lingkaran komunal diharapkan mampu menjamin kebutuhan pangan. Covid-19 telah meruntuhkan perilaku egoisme borjuis: kita akan mengutamakan keamanan, kesehatan, keselamatan ataukah kepemilikan aset?
Kita memilih ketersediaan pangan ataukah mempertahankan gaya hidup mewah?
Bergeser ke dunia pendidikan, pertanyaannya adalah apakah pendidikan kita masih akan mengedepankan kompetisi ataukah mulai mendidik siswa melakukan kolaborasi?
Berderet-deret pertanyaan bisa kita ajukan di tengah situasi pandemi seperti ini. Pertanyaan yang tidak menyalahkan siapa pun, melainkan untuk mengoreksi atau melakukan muhasabah: ternyata konsep dan perilaku substansial silaturahmi kita belum beres benar.