Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ramuan Tradisional yang (Masih) Dipandang Sebelah Mata

28 April 2020   02:38 Diperbarui: 28 April 2020   02:39 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: jamu Jawa/kompas.com/DOK. BIRO KOMUNIKASI PUBLIK KEMENPAREKRAF

Sebaiknya kita tidak terburu-buru menuduh, kebiasaan yang turun-temurun dilakukan sejak nenek moyang adalah mitos. Tidak semua tradisi bisa dikenakan baju atau status mitos. Walaupun apa yang disebut mitos itu kadang hasil dari othak atik gathuk.

Budaya Jawa sarat dengan penemuan yang dilandasi oleh othak atik gathuk. Terkadang penemuan itu tidak masuk akal. Namun, sesuatu yang tidak masuk akal tidak otomatis mitos.

Sakit Udunen dan Pohon yang Ada Penghuninya

Anak kecil zaman dahulu dilarang duduk di atas bantal. Bisa udunen, katanya. Bagi pemikiran modern, larangan duduk di atas bantal yang mengakibatkan pantat udunen adalah mitos karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

Tentu saja sulit dibuktikan hubungan antara bantal, pantat dan sakit udun. Silakan melakukan penelitian yang melibatkan banyak responden. "Ancaman" sakit udun tidak pernah terbukti. Kabar yang tidak terbukti kebenarannya ini bisa disebut hoaks. Pemikiran modern menyebutnya mitos.

Jadi, hoaks itu disebarluaskan oleh nenek moyang kita sendiri. Benarkah demikian?

Siapa peneliti handal yang bisa membuktikan secara objektif anak yang duduk di atas bantal akan sakit udun? Hingga kelak matahari terbit dari utara, "ancaman" sakit udun tidak akan terbukti. 

Sakit udun setelah duduk di atas bantal adalah bahasa sanepan. Pantat, bantal dan sakit udun itu semacam password untuk memasuki pintu pembelajaran tata krama. Tidak pantas duduk di atas bantal karena ia tempatnya kepala saat tidur.

Pesan moral ini dikomunikasikan secara sederhana melalui pesan, "Jangan duduk di atas bantal nanti bisa udunen."

Contoh kasus lain, misalnya larangan menebang pohon tua di pinggir desa yang berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun. Beredar keyakinan di masyarakat setempat, pohon tua itu ada penghuninya. Beberapa kali ditebang selalu gagal. Penebang bayaran yang ahli sekalipun keok oleh penghuni pohon tua. Kalau tidak sakit, ia malah meninggal dunia.

Masyarakat modern mengatakan itu hanya mitos. Baiklah, sebut saja itu mitos. Sekarang apa yang tidak mitos? Pohon ditebang lalu tanahnya diratakan untuk pembangunan pabrik? Mencemari sungai perkotaan dengan sampah-sampah? Menggunduli hutan dan mengusir semua satwa di sana? Atau merusak keseimbangan kampung Badui dengan meninggalkan sampah plastik?

Selayaknya bertetangga dengan sesama manusia, kita juga hidup berdampingan dengan tanah, air, udara, pohon, ayam, dan seterusnya. Juga dengan para makhluk yang tidak kasat mata kita pun menjalin hubungan bertetangga.

Tidak menebang pohon tua yang usianya ratusan tahun itu merupakan etika lingkungan yang dikomunikasikan secara sederhana sesuai logika budaya masyarakat setempat. Faktanya, akar pohon tua itu telah berjasa menjadi "penampung" mata air yang menghidupi warga masyarakat setempat selama berpuluh-puluh tahun.

Menebang pohon tua sama artinya merusak sumber mata air yang bisa mengakibatkan kekeringan di daerah itu.

Sedikit-sedikit Mitos

Demikian pula dengan "mitos" mengusir rasa sakit ringan. Zaman dahulu--manusia modern menyebutnya sebagai pengobatan tradisional--tidak dikenal obat kimia. Ramuannya disebut jamu. Ada jamu galian singset, jamu sakit kulit, jamu sakit kepala, dan lain sebagainya.

Bahan dasarnya adalah empon-empon. Semua bahan dasar itu tumbuh di tanah. Bahkan, makanan, minuman serta ramuan terbaik untuk menjaga kesehatan dan imunitas tubuh manusia adalah bahan-bahan yang tumbuh di atas atau di dalam tanah.

Dikutip dari Kompas.com, berangkat dari terus meluasnya wabah virus corona, seorang profesor asal Universitas Airlangga ( Unair) di Surabaya, Prof Dr drh Chairul Anwar Nidom mengklaim telah menemukan ramuan jahe yang dapat mencegah penularan virus corona atau Covid-19 dalam tubuh.

Terkait konsumsi, Nidom menyarankan agar masyarakat mengonsumsi pada pagi, siang, dan malam berupa campuran jahe, temulawak, dan sebagainya.

"Masyarakat sudah biasa membuat minuman dari empon-empon tersebut, (konsumsi) tiap hari lebih baik, karena kita tidak tahu kapan virus masuk ke dalam tubuh kita," kata dia.

Apakah ini mitos? Sebaiknya kita tidak latah mengatakan sedikit-sedikit mitos (mitos kok sedikit). Silakan diteliti dan dibuktikan. Apalagi kita kerap memandang sebelah mata ramuan tradisional warisan nenek moyang.

Alih-alih berterima kasih dan merawat tradisi ramuan nenek moyang, kita malah menempatkannya sekadar sebagai pengobatan alternatif di tengah hegemoni pengobatan mainstream modern. Potensi aneka ragam tanaman herbal di tanah Nusantara pun terbengkalai.

Sekadar menjaga vitalitas tubuh kita pun bergantung pada produk-produk suplemen asing. Mengandalkan minuman kuat orang modern yang katanya "Jossss!". Mengonsumsi makanan dan minuman penambah stamina yang justru mengakibatkan defisit kesehatan di usia tua.

Kita pun tersesat di belantara iklan makanan dan minuman "sehat" karena mindset kita terlanjur disetting bahwa nasi ampog, lalap daun turi, ubi rebus, jagung godhok, minuman jahe merah hasil panen dan racikan sendiri, semuanya kuno, tradisional, ketinggalan zaman.

Prinsip Menjaga Kesehatan: Waspada dan Niteni

Kita pasti sepakat, mencegah lebih baik dari mengobati. Kebiasaan mengonsumsi obat sekadar untuk mengatasi sakit yang ringan, sepanjang pengalaman saya, justru menurunkan daya tahan tubuh. Imunitas jadi lembek karena terbiasa tidak diberi kesempatan bertarung untuk memulihkan kesehatan.

Apalagi, kebiasaan mengonsumsi minuman instan yang menjanjikan stamina tingkat tinggi justru menimbulkan ketergantungan psikis. Rasanya tidak benar-benar fit kalau belum meminumnya.

Kita tawarkan simulasi sederhana. Ada tiga orang sakit kepala. Obat dan merk untuk menyembuhkannya bisa sama, yaitu Obat Sakit Kepala merk "A". Namun, kalau diteliti penyebab sakit kepala ketiga orang itu bisa berbeda. Orang pertama sakit kepala karena belum ngopi. Orang kedua kurang tidur. Orang ketiga karena galau habis ketemu mantan. 

Praktisnya, ketiga orang itu langsung saja minum obat sakit kepala. Sedangkan untuk kepentingan kesehatan jangka panjang, alangkah baiknya mereka menemukan sebab sakit kepala. Setiap orang adalah dokter terbaik bagi dirinya. Ia harus niteni tanda atau alarm kesehatan dirinya. 

Maka, "obat" sakit kepala ketiga orang itu sesuai "akar" pemicunya. Orang pertama bisa langsung nyruput kopi nasgitel (panas legi kentel). Orang kedua tidur yang nyenyak. Orang ketiga bisa curhat kepada sahabatnya.

Prinsip menjaga kesehatan adalah waspada sekaligus niteni keseimbangan pikiran dan perasaan, emosi dan perilaku, hingga hal-hal teknis terkait kapan makan, seberapa takarannya, dan seterusnya.

Membiasakan minum empon-empon setiap hari untuk menjaga stamina dan kesehatan badan merupakan upaya pencegahan tanpa risiko. Sebelum virus corona menyambangi kita, bahan empon-empon mudah didapat.

Makanan dan minuman instan yang jelas-jelas merugikan kesehatan kita untuk jangka panjang tidak dimitoskan. Sementara makanan dan minuman lokal, warisan nenek moyang yang memberikan manfaat kesehatan jangka panjang, malah dimitos-mitoskan.

Kalau semua peninggalan, wejangan, anjuran, warisan kebudayaan yang dinilai kuno dan tradisional adalah mitos, mestinya kita harus konsisten. Mulai hari ini stop membuat sambal tradisional. Sambal adalah warisan kebudayaan "mitos" yang kita nikmati hingga hari ini.

Siapa masterpiece penemu hak cipta sambal? Bagaimana metode riset yang berhasil mempertemukan cabe, terasi, berambang, garam, gula dalam satu harmoni rasa? Di laboratorium manakah penemuan sambal pertama kali diujicoba?

Sudahlah, mari saling belajar dan bersikap rendah hati---juga kepada warisan nenek moyang kita sendiri.[]

Jagalan, 280420

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun