Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hiperealitas Corona: Aibku, Aibmu, Aib Kita Semua

17 April 2020   00:43 Diperbarui: 19 April 2020   19:15 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural terkait virus corona di daerah Benda, Tangerang|Foto: bebas.kompas.id/Heru Sri Kumoro

Mana yang hiperbola? "Setelah empat orang terkonfirmasi positif terjangkit virus mematikan ini, kini ditambah tiga orang terkonfirmasi positif Covid-19." 

Saya tidak mengerti mengapa kalimat "virus mematikan" tampil di sana. Maksudnya apa? Memberi peringatan supaya masyarakat waspada? Apa beda antara mengajak waspada dengan menebar ketakutan? 

Apakah "virus mematikan" itu dipahami sebagai keniscayaan, kepastian, atau kemungkinan? Kalau ia adalah kemungkinan, berapa persen kemungkinannya? Kalau ia ketidakmungkinan, berapa persen pula ketidakmungkinannya?

Entah disengaja atau tidak, kita seperti disuruh mengunyah fakta yang kita sendiri tidak sepenuhnya mengerti dan memahaminya. Sementara, mitigasi dan edukasi tertatih-tatih, seratus langkah tertinggal di belakang. Tiba-tiba, kita menjumpai diri kita sebagai paranoid akibat digulung banjir bandang hiperealitas.

Kini, pada taraf konteks tertentu, masyarakat pun mengalami hiperreaksi, hiperwaspada, hiperemosional, hiperngamukan dan hiper-hiper ketidakseimbangan lainnya.

Jadi, apa yang menjadi aib di tengah pandemi ini? Adalah ketidakseimbangan berpikir kita sendiri sehingga mengaibkan orang sakit dan memberi stigma negatif terhadap tenaga kesehatan.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Grayaono jithokmu dewe, kata orang Jawa. Mari menata dan memperbaiki diri. Ibda' binafsik! Kata wong Arab. Mulailah dari diri sendiri. 

Orang yang paling cantik atau tampan sekalipun, orang yang sudah jadi mbahnya profesor, orang yang ahlinya ahli, orang yang alimnya alim, menurut ukara Jawa, hanya bisa meraba tengkuknya sendiri.

Supaya bisa memastikan ada apa dengan tengkuknya, dia memerlukan bantuan orang lain. Maksudnya, kebenaran yang diraih seseorang---apapun titel akademiknya, setinggi apapun pangkat dan jabatannya, secerdas apapun skor IQ-nya---tidak pernah mencapai kebenaran utuh seratus persen. Ia memerlukan sumbangan kebenaran dari orang lain.

Dalam situasi saat ini, yang kita sodorkan bukanlah kebenaran mutlak versi kita sendiri. Kita perlu menyisakan dua puluh persen "ruang kosong" dari delapan puluh persen kebenaran yang kita yakini benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun