Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perhatian, Anda Memasuki Wilayah "Wahing Diantemi"

13 April 2020   14:01 Diperbarui: 13 April 2020   14:10 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com/Pixabay/Gerhard Gellinger

Gogon tiba-tiba bangun dari kematian, lalu menyalami teman-temannya. "Sudah mati bangun lagi," kata Tarsan protes. 

"Belum pamitan. Sekarang salaman dulu," ujar Gogon. Sebelum melanjutkan mati yang kedua kali Gogon membersihkan lantai. "Aaaaa...mati lagi..."

Bukan kematian benar menusuk kalbu, tulis Chairil Anwar. Namun, kematian yang paling mengerikan pun tak luput dari parodi yang memplesetkannya menjadi senyum di bibir. Saat itu, hati jadi segar. Perasaan lentur kembali. Rileks.

Apakah kita sedang menertawakan kematian? Bukan. Kita juga tidak tengah melecehkannya. Kematian adalah momentum sakral ketika manusia memasuki tahapan hidup selanjutnya. Kematian bukan tragedi, tulis Cak Nun. Namun, apa penyebab kematian, itulah yang harus diteliti.

Momentum kematian yang gegirisi dalam kehidupan nyata itu pun diparodikan oleh Srimulat melalui dagelan yang menyegarkan. Apalagi "sekadar" musibah, bencana, ujian hidup yang datang bagai gelombang. Ia adalah bahan dagelan yang tak ada habisnya.

Diperlukan sense of humor untuk menertawai keadaan. Bukankah sense of humor adalah salah satu fitrah yang diinstal Tuhan dalam diri setiap manusia? Sense of humor adalah potensi kearifan lokal yang mengejawantah menjadi kearifan individual. 

Kawan saya pulang kerja sambil membonceng rombong. Di jalan yang menurun dan menikung, rombongnya disantap truk. Kawan saya terpental. Rombongnya ajur. Ia sempat tak sadarkan diri. Mungkin shock atau kaget.

Satu jam berikutnya ia siuman. "Alhamdulillah selamat aku," ucapnya. Bagaimana ini kena musibah malah bilang Alhamdulillah? "Untung yang ajur rombong saya bukan badan saya," ucapnya ringan.

Ucapan kawan saya ini "maqamnya" melampaui sense of humor kebanyakan manusia. Ia bersyukur dalam derita dan musibah. Kalau mau dibuat strata penderitaan: untung yang ajur rombong bukan sepeda motor. Untung yang ringsek sepeda motor bukan kaki dan kepalanya. Dan kita pun memungkasi musibah itu dengan syukur Alhamdulillah.

Buat apa memparodikan keadaan atau melucui pandemi kalau tidak berakhir dengan rasa syukur?

Sahabat saya yang lain, penjual pentol keliling, bercerita bahwa penghasilannya selama tiga pekan ini menurun. "Sebelum ada Corona saya pulang bawa uang lima ratus ribu," ujarnya. Setali tiga uang dengan kawan yang rombongnya disantap truk, penjual pentol mengucapkan syukur yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun