"Kemarin, pulang malah bawa seratus ribu. Sepi, Mas."
"Cukup untuk kebutuhan sehari-hari?" tanya saya.
"Alhamdulillah cukup."
Dapat rezeki lima ratus ribu: "Alhamdulillah cukup". Dapat tiga ratus ribu: "Alhamdulillah, mudah-mudahan cukup". Dapat seratus ribu: "Alhamdulillah, dicukup-cukupkan". Dapat lima puluh ribu: "Ya harus cukup". Penghasilan mampet beberapa hari: "Semoga besok dapat rezeki lagi. Gusti Allah mboten sare".
Para pakar ilmu ekonomi modern atau para kapitalis akan mumet ndase menganalisa bagaimana uang seratus ribu cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Akan terasa lebih tidak masuk akal ketika ada pengharapan Tuhan Maha Pemberi Rezeki.
Suatu ketika Gus Mik dan Gus Dur terlibat perbincangan serius. "Bagaimana ini Gus, Indonesia semakin morat-marit," tanya Gus Dur.
Santai saja Gus Mik merespons, "Indonesia sudah beres semua. Sudah baik semua. Yang belum beres dan belum baik tinggal dua orang."
"Siapa dia, Gus?" tanya Gus Dur.
"Dua orang itu saya dan Penjenengan," ujar Gus Mik.
Ini humor tingkat dewa. Refleksinya bisa ditulis jadi berjilid-jilid buku. Satu saja catatan kecil dari perbincangan dua gawagis itu: tidak merasa paling beres dan paling benar.
Cerdas mengemas kritik dalam adegan humor adalah jenis kecerdasan yang lain. Yang dibutuhkan bukan sekadar IQ setara Einstein. Bukan pula sekadar memahami kompleksitas problematika hingga ke tulang sumsum. Humor tingkat dewa semacam itu tampil dari seseorang yang hidupnya sudah selesai.