"Mak, niki masker gratis, mboten bayar. Menawi medal saking griyo masker-e didamel." (Mak, ini ada masker gratis, tiday perlu bayar. Kalau keluar rumah maskernya dipakai)
"Ojo dibuak yo Rek. Masker iki iso diumbah." (Jangan dibuang ya. Masker ini bisa dicuci)
"Pakdhe, wayah narek becak ndamel masker. Kersane aman lan sehat. Mugi-mugi rezeki tetep lancar." (Pakdhe, kalau lagi narek becak pakai masker. Biar aman dan sehat. Mudah-mudahan rezekinya tetap lancar)
Kalimat yang menggunakan bahasa Jawa itu spontan meluncur. Anak-anak muda di kampung saya memberikan edukasi pentingnya memakai masker saat keluar rumah. Pembagian masker gratis ini kerja sama antara Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN Mojokerto dengan FP3 Jagalan.
Blok rumah kontrakan itu memang dihuni oleh para pekerja harian. Rasanya mustahil menyuruh mereka bekerja dari rumah. Pasalnya, setiap pagi, sore atau malam hari mereka berjualan pisang molen, bakul mlijo, narek becak. Pengangkut sampah pun berkeliling desa setiap pagi.
Beberapa hari terakhir ini warga masyarakat Jombang umek. Para pedagang kecil yang berjualan di malam hari, terutama warung kopi, didatangi Satpol PP. Warung harus ditutup. Yang masih buka akan diangkut ke kantor polisi. Mereka harus menandatangani surat pernyataan tidak membuka warung.
Dinamika ini menarik untuk dicermati. Upaya yang dilakukan Pemkab Jombang untuk mencegah penyebaran Covid-19 patut diapresiasi. Namun, melarang masyarakat berjualan di malam hari tanpa upaya edukasi dan pemberian solusi bukanlah keputusan yang bijaksana.
Di media sosial netizen pun mbengok. Mereka protes atas keputusan yang dinilai bisa mematikan sandang pangan wong cilik. Kalau penutupan itu dilakukan untuk menghindari kerumunan warga, apakah tidak tebersit gagasan yang lebih cerdas dan bijaksana untuk menerapkan social distancing dan physicial distancing.
Selain jeritan pedagang kecil, kita juga disodori fakta yang lain. Beberapa toko besar masih buka dan melayani pembeli yang berkerumun. Toko-toko itu beraktivitas seperti biasanya, seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa saat ini.
Kita tidak bisa menutup mata atas ketimpangan ini. Termasuk ketimpangan informasi yang beredar melalu pesan WhatsApp. Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate menyatakan, penyebaran hoaks terbanyak diketahui melalui WhatsApp.
Hal itu dibuktikan oleh Engelbertus Wendratama, peneliti di PR2Media, yang melakukan survei sederhana. Masyarakat menerima segala jenis informasi tentang Covid-19 dari WhatsApp sebanyak 37,1%. Adapun yang menerima informasi dari media online sebanyak 16,7%.
Menjawab pertanyaan, "Dari saluran apa Anda sering menerima hoaks tentang pandemi Covid-19? WhatsApp menjadi saluran paling banyak (78,5%), lalu Facebook (12,4%).
Hal ini cukup memprihatinkan. Informasi yang diterima masyarakat melalu WhatsApp (37,1%) setengahnya adalah kabar menyesatkan (78,5%).
"Meski tidak bisa dikatakan mewakili warga Indonesia secara umum, survei di atas (dengan margin of error 6%) setidaknya bisa memberikan gambaran tentang pengalaman dan harapan warga saat ini," ungkap Wendratama.
Cara berpikir dan pilihan bertindak masyarakat saat menghadapi Covid-19 justru digerakkan oleh "virus informasi" yang cepat menyebar melalui media sosial. Pergerakan "virus informasi" ini sangat cepat, lebih masif, dan berpenetrasi individual.
Pemerintah pusat dan daerah terkesan gagap, ambigu, ragu-ragu saat memandu masyarakat menghadapi Coid-19. Mudik tidak dilarang namun masyarakat dihimbau tidak mudik, merupakan kasus komunikasi yang tidak efektif. Alih-alih menjalin komunikasi yang efektif, kita justru disuguhi adegan "jurus dewa mabuk".
Akibatnya, resistensi masyarakat menerima informasi resmi dari pemerintah, termasuk imbauan/larangan membuka warung kopi, kian menguat. Bukan mereka tidak manut pada anjuran pihak terkait. Masyarakat menggunakan logika berpikirnya sendiri.
Sayangnya, dan ini patut diwaspadai, setengah dari informasi yang memandunya adalah kabar yang menyesatkan.
Bagaimana cara kita memecah kompleksitas permasalahan itu? Kembali pada lingkup pemerintahan yang paling kecil, yakni RT/RW di setiap desa. Semakin banyak desa yang melakukan edukasi kepada warganya.
"Pak Lek, sakderenge melbet griyo, tangane diwisuhi riyen ndamel sabun." (Om, sebelum masuk rumah tangannya dicuci pakai sabun)
"Mbah, menawi watuk kedah ditutupi kale tisu. Menawi Panjenengan mboten gadah tisu, ditutupi kale lengen." (Mbah, kalau batuk ditutupi pakai tisu. Kalau tidak punya tisu, ditutupi dengan lengan tangan)
"Awas jaga jarak. Mboten angsal cidek-cidek (tidak boleh terlalu dekat). Jaraknya 1,5 meter."
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan informasi. Selain itu, bahasa daerah juga mudah dipahami oleh warga setempat.
Saatnya, kini, kita berbagi informasi yang akurat dan dikemas secara menarik.[]
Jagalan, 040420
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H